Kopi Pagi: Menuju Pilkada Tanpa Transaksi

Kamis 27 Nov 2025, 06:15 WIB
Kopi Pagi: Menuju Pilkada Tanpa Transaksi. (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi: Menuju Pilkada Tanpa Transaksi. (Sumber: Poskota)

Menyerap aspirasi masyarakat, memperjuangkan hingga mencarikan solusinya melalui aksi nyata adalah pejabat harapan rakyat. Pejabat akan dipercaya rakyat jika mampu memenuhi janjinya kepada rakyat, bukan mengingkarinya,”

-Harmoko-

--

Pada 27 November setahun lalu digelar pilkada serentak di 545 daerah seluruh Indonesia untuk memilih pasangan calon kepala daerah. Hasilnya sudah kita saksikan bersama, telah terpilih 37 gubernur dan wakilnya, 415 bupati dan wakilnya serta 93 wali kota dan wakilnya.

Pilkada serentak setahun telah berlalu dengan meninggalkan sejumlah catatan sebagai fakta sejarah perjalanan pesta demokrasi lima tahun sekali di negeri ini.

Baca Juga: Kopi Pagi: Mengajar dengan Cinta

Sebanyak 24 daerah diwajibkan menggelar pemungutan suara ulang (PSU) untuk kembali memilih satu pasangan gubernur dan wakil gubernur, 20 pemilihan bupati dan wakil  bupati serta 3 pemilihan wali kota dan wakil wali kota, adalah fakta adanya kecurangan. Mulai dari dugaan keberpihakan birokrat, cawe – cawe pejabat publik, penyalahgunaan fasilitas negara untuk kampanye hingga politik uang.

Bahkan, ada satu daerah yang harus menggelar PSU dua kali dan Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi kedua pasangan calon kepala daerah dimaksud karena keterlibatan politik uang.

Keterlibatan birokrat dan pejabat publik, dominasi oligarki dan kian maraknya politik uang menjadi catatan buruk bagi gelaran pilkada tahun lalu yang memerlukan perbaikan serius pada pilkada mendatang.

Politik berbiaya tinggi yang masih juga terjadi acap mendorong kepala daerah terpilih berupaya mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam perhelatan pilkada.

Tertangkapnya tiga kepala daerah (1 gubernur dan 2 bupati) sebelum sembilan menjabat atas dugaan suap, pemerasan hingga jual beli jabatan, kian memberi indikasi bahwa politik berbiaya tinggi menjerat pejabat publik melakukan tindakan koruptif.

Ini yang harus dicegah dengan memperbaiki sistemnya, sistem pilkada. Jika tidak, problemnya tidak akan hilang, diprediksi rantai korupsi akan terus terjadi di pemerintah daerah.

Perbaikan sistem harus dibarengi dengan  penegakan hukum yang tegas dan pengawasan lebih intensif baik secara internal maupun eksternal. Perlu mereformasi kelembagaan agar fungsi pengawasan berjalan efektif dengan memberi posisi yang lebih independen kepada inspektorat daerah, sementara DPRD harus memiliki mekanisme lebih transparan untuk mencegah konflik kepentingan, bukan membuka peluang munculnya kepentingan sekelompok elite.

Baca Juga: Kopi Pagi: Menyiapkan Anak Masa Depan

Dengan mekanisme semacam itu, dapat mencegah lahirnya pejabat yang terjebak pada politik balas budi.

Jika masih ada pejabat publik yang ditangkap karena korupsi mengindikasikan  problem politik berbiaya tinggi saat pilkada belum terdapat solusi.

Kita paham, dua sumber utama tingginya biaya politik saat pilkada adalah pembelian suara (vote buying) dan pembelian dukungan politik (candidacy buying). Belum lagi biaya lainnya  yang tak terduga dan tersembunyi.

Solusi terkait dua hal ni hendaknya terinci dalam revisi undang – undang pemilu – pilkada mendatang.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK ) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal pada tahun 2029, menjadi pintu masuk merevisi undang  – undang pilkada yang lebih demokratis dan berintegritas. 

Ada perbaikan tata kelola pemilu agar tidak lagi dibayangi dominasi oligarki dan politik berbiaya tinggi yang selama ini terjadi. Perlu rekonstruksi sistem pemilu dan variable teknisnya untuk menuju pilkada tanpa segala macam transaksi, baik politik, uang, jabatan maupun kekuasaan.

Satu catatan, sistem proporsional daftar terbuka yang selama ini digunakan dinilai gagal menghapus, setidaknya menekan politik uang. Selain, belum optimal menghadirkan representasi berkualitas dalam pelaksanaan pemilu.

Cukup banyak penelitian dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa sistem yang berlaku sekarang membuka ruang hadirnya politik transaksional, dominasi oligarki dan mengurangi akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya.

Lantas bagaimana sistem pilkada mendatang? Jawabnya bisa beragam, tetapi  belakangan ini memunculkan sejumlah skenario. Pertama, mempertahankan sistem pilkada langsung seperti yang dilakukan selama ini. Kedua, gubernur dipilih oleh DPRD, sedangkan bupati dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat. Ketiga, semua kepala daerah, baik gubernur, bupati dan wali kota tidak dipilih langsung, tetapi oleh DPRD.

Masing – masing skenario memiliki keunggulan dan kekurangannya.Tentu, kita sepakat memilih yang banyak keunggulan, ketimbang banyak kekurangannya. Utamanya dapat menekan politik berbiaya tinggi, politik transaksional seperti selama ini dikeluhkan. Membiarkan politik uang kian merebak setiap gelaran pilkada, tak ubahnya kita ikut mengedukasi publik untuk terbiasa melakukan politik transaksional.

Baca Juga: Kopi Pagi: Toleransi Membangun Harmoni

Sering dikatakan, politik transaksional menguntungkan sesaat, tetapi berdampak buruk dalam jangka panjang, setidaknya menghambat kemajuan daerah, selain menumpulkan pejabat dalam menyerap kehendak rakyat, karena tadi, dikejar target pengembalian modal politik.

Sementara menyerap aspirasi masyarakat, memperjuangkan hingga mencarikan solusinya melalui aksi nyata adalah pejabat harapan rakyat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Pejabat akan dipercaya rakyat jika mampu memenuhi janjinya kepada rakyat, mengutamakan kepentingan rakyat, bukan mengedepankan urusan pribadinya. Percaya, pejabat yang ingkar janji, akan dijauhi dan dibenci rakyatnya. (Azisoko).


Berita Terkait


undefined
Kopi Pagi

Kopi Pagi: Pejuang Rakyat

Senin 10 Nov 2025, 05:54 WIB
undefined
Kopi Pagi

Kopi Pagi: Sehat Mental dan Sosial

Kamis 13 Nov 2025, 06:02 WIB
undefined
Kopi Pagi

Kopi Pagi: Mengajar dengan Cinta

Senin 24 Nov 2025, 06:07 WIB

News Update