KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Polda Metro Jaya memeriksa 46 siswa dalam kasus ledakan bom rakitan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara.
Seluruh saksi merupakan siswa di sekolah tersebut. Pemeriksaan para saksi dilakukan bersamaan dengan kegiatan observasi oleh tim Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor).
“Kegiatan penyidik hari ini adalah pemeriksaan 46 saksi anak, yang dilakukan paralel dengan observasi dari Apsifor. Selain itu, penyidik juga melanjutkan penyitaan barang bukti dari tubuh korban di Rumah Sakit Islam Jakarta, Cempaka Putih,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Budi Hermanto saat dikonfirmasi, Kamis, 13 November 2025.
Pemeriksaan dan observasi psikologis ini dilakukan untuk memperkuat proses penyelidikan serta memahami kondisi para siswa yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung oleh insiden ledakan tersebut.
Baca Juga: Sadar Usai Ledakan, Siswa SMAN 72 Jakarta yang Jadi Pelaku Masih Jalani Perawatan Intensif
“Pemeriksaan terhadap ayah ABH sudah dilakukan dua hari lalu, sedangkan hari ini penyidik memeriksa para saksi anak di sekolah tersebut,” ujarnya.
Namun, polisi belum bisa meminta keterangan dari Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang terlibat ledakan. Pasalnya, kondisi siswa berusia 17 tahun itu belum stabil.
Sementara itu, kedua orang tuanya telah diperiksa dua hari lalu.
“ABH sudah sadar, tetapi belum dapat dimintai keterangan karena masih dalam tahap pemulihan,” ucapnya.
Baca Juga: ABH Peledak SMAN 72 Jakarta Sudah Siuman
Penyidik Polda Metro Jaya mengungkap, ABH terdorong secara emosional untuk melakukan ledakan di SMAN 72 Jakarta.
“Ada hal menarik yang kami temukan dalam proses penyidikan, yaitu adanya dorongan internal dari anak berkonflik dengan hukum ini untuk melakukan peristiwa tersebut,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Iman Imanuddin.
Menurut Iman, salah sebuah faktor pendorong tindakan pelaku adalah perasaan kesepian dan tidak memiliki tempat untuk menyalurkan perasaan maupun keluh kesah. Namun, polisi masih terus melakukan pendalaman terhadap kasus ini.
“Yang bersangkutan merasa sendiri, tidak punya tempat untuk menyampaikan keluh kesahnya, baik di lingkungan keluarga, pergaulan, maupun di sekolah,” tuturnya.
