"Pada umumnya di tahun 2025, jumlah hari kondisi tidak sehat yang ditunjukkan oleh konsentrasi harian PM2.5 di atas 55 ug/m3 lebih sedikit dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya kondisi tahun 2025 tidak lebih buruk," ucap Ardhasena kepada Poskota, Kamis, 6 November 2025.
Ardhasena mengatakan, kualitas udara cenderung memburuk selama periode musim kemarau. "Kondisi kualitas udara cenderung memburuk pada periode musim kemarau yang disebabkan proses pencucian atmosfer oleh air hujan (washout) yang kurang intensif serta transport polutan dari daerah lain," ujar Ardhasena.
Lebih lanjut, Ardhasena mengungkapkan, kualitas udara buruk tidak hanya disebabkan oleh sumber emisi lokal seperti kendaraan bermotor, aktivitas rumah tangga, dan industri, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor meteorologi dan iklim.
"Salah satunya dikarenakan masuknya musim kemarau ke wilayah Jakarta dimana pada musim kemarau kualitas udara cenderung memburuk," ungkapnya.
"Hal ini dikarenakan berkurangnya hujan yang berperan untuk meluruhkan polutan di udara. Selain curah hujan, kelembaban udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan," Lanjutnya.
Selain itu, Ardhasena mengatakan, kecepatan angin yang rendah juga turut memperburuk situasi. Dalam kondisi stagnan atau pergerakan udara yang lemah, polutan tidak dapat tersebar dengan baik dan akhirnya menumpuk di area perkotaan.
Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.
"Di sisi lain angin juga berperan membawa polutan dari wilayah/sumber lain masuk ke Jakarta," ujarnya.
Untuk mengantisipasi polusi udara di Jakarta, BMKG meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan sejumlah hal, di antaranya sebagai berikut:
a. Menggunakan kendaraan ramah lingkungan
b. Mengurangi pemakaian kendaraan bermotor dengan memanfaatkan moda angkutan massal publik
c. Hindari pembakaran sampah
