Bantah Kemenhub, Dishub Jakarta Sebut Rata-rata Ongkos Transportasi hanya 3,7 Persen dari UMP

Minggu 02 Nov 2025, 20:06 WIB
ejumlah pekerja  menaiki MRT saat jam pulang kerja di Jakarta. (Sumber: POSKOTA | Foto: Bilal Nugraha Ginanjar)

ejumlah pekerja menaiki MRT saat jam pulang kerja di Jakarta. (Sumber: POSKOTA | Foto: Bilal Nugraha Ginanjar)

Sementara itu, pengamat ekonomi, Esther Sri Astuti, mengatakan, tingginya ongkos transportasi di Jakarta menjadi persoalan klasik yang belum terselesaikan. Sebab, sistem transportasi publik di Jakarta belum terintegrasi secara menyeluruh.

“Kalau dari dulu memang seperti itu, sekitar 30 persen penghasilan masyarakat habis untuk biaya transportasi,” ujar Esther saat dihubungi Poskota, Minggu, 2 November 2025.

Menurut Esther, penyebab utama tingginya ongkos transportasi di Jakarta bukan semata karena harga tiket kendaraan umum, tetapi karena sistem transportasi yang tidak terkoneksi dengan baik antarmoda.

Baca Juga: Warga Bekasi Habiskan Ongkos Transportasi Tertinggi se-Indonesia, Pekerja Tercekik

“Transportasi publik di Jakarta itu tidak connected, gitu ya. Misalnya contoh, kalau saya mau ke Stasiun Gambir, saya harus turun di Gondangdia dulu, lalu lanjut pakai bajaj atau taksi. Yang bikin mahal itu justru connecting-nya,” ucap Esther.

Ia menilai, masyarakat akhirnya memilih menggunakan kendaraan pribadi karena perjalanan menggunakan transportasi publik sering kali tidak efisien, terutama di pagi hari.

“Kalau dari Depok, saya sering naik mobil karena kalau naik ojek daring pagi-pagi susah nyantol. Karena jarak dekat, kadang pengemudinya enggak mau ambil,” kata dia.

Selain soal keterhubungan, Esther juga menyoroti faktor keamanan dan kenyamanan pengguna KRL. Ia bahkan mengaku pernah hampir menjadi korban pencopetan di dalam kereta.

Meski demikian, ia mengakui bahwa harga tiket KRL kini jauh lebih terjangkau dibandingkan beberapa tahun lalu.

“Dulu dari Depok ke Cikini itu Rp7.500, sekarang di bawah Rp5.000 kalau pakai kartu tap. Tapi tetap saja, karena tidak terkoneksi, total biaya perjalanan jadi mahal,” katanya.

Esther menilai, persoalan serupa juga terjadi pada moda transportasi baru seperti MRT dan LRT.

Meskipun tarifnya relatif terjangkau dan fasilitasnya nyaman, sistem antar-moda masih belum terintegrasi secara penuh.


Berita Terkait


News Update