Pada kesempatan yang sama, psikolog klinis Tara de Thouars menilai langkah BPJS Kesehatan ini sejalan dengan kebutuhan mendesak dalam mengatasi masalah kesehatan mental di masyarakat. Ia menyoroti data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan 1 dari 10 orang Indonesia mengalami masalah mental, dan terdapat 72,4 persen karyawan yang disurvei juga mengaku mengalami masalah mental.
"Angka percobaan bunuh diri bahkan mencapai 10 kali lipat dibandingkan kasus bunuh diri yang tercatat setiap bulan. Bahkan survei Indonesia National Mental Health yang dilakukan pada tahun 2024 menunjukkan data bahwa sebanyak 39,4 persen remaja mengalami masalah mental dan setiap tahun meningkat 20 hingga 30 persen," terang Tara.
Tara menjelaskan bahwa pemicu timbulnya masalah kesehatan mental ini antara lain, tingkat stres yang tinggi, persaingan ketat di dunia kerja, masalah ekonomi, fear of missing out (fomo) terhadap sesuatu, sandwich generation, hingga tekanan dari media sosial.
"Tekanan ini memengaruhi kondisi emosi, pikiran, dan perilaku sehingga menghambat fungsi kehidupan sehari-hari. Sayangnya, stigma negatif masih kuat melekat di masyarakat, di mana orang dengan gangguan jiwa sering dicap sebagai lemah, kurang bersyukur, atau bahkan dianggap aib. Stigma ini membuat banyak individu memilih menyembunyikan masalahnya dan enggan mencari pertolongan," tambahnya.
Baca Juga: Gratis! 7 Alat Kesehatan yang Dibiayai BPJS Kesehatan, Ada Apa Saja?
Tara mengimbau untuk tidak memberi label negatif kepada pengidap kesehatan mental, karena akan membuat orang takut untuk mencari bantuan. Selain itu, berhenti menormalisasi gangguan mental sebagai hal biasa dan menganggap masalah mental sebagai sesuatu yang keren atau istimewa, karena membuat masalah tidak tertangani. Menurutnya, yang harus dinormalisasi adalah mencari bantuan profesional dan menemui psikolog atau psikiater.
“Sebelum kita mengharapkan keadaan menjadi lebih baik untuk diri sendiri dan orang sekitar, mulailah dengan menjaga kesehatan mental, karena tanpa kesehatan mental, apapun tidak akan ada artinya," ucap Tara.
Sementara itu, Plt. Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Arif Zainudin Surakarta, Wahyu Nur Ambarwati menyampaikan pihaknya siap melayani peserta JKN dengan prinsip humanistik. RSJD memiliki 213 tempat tidur untuk rawat inap, termasuk 177 tempat tidur psikiatri, serta instalasi rehabilitasi psikososial untuk membantu pasien meningkatkan kualitas hidup, kemandirian, dan produktivitas.
"Jumlah pasien rawat inap di sini paling banyak adalah peserta JKN dengan total lebih dari 90 persen, baik yang terdaftar pada segmen PBI maupun non-PBI. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien kesehatan jiwa di Surakarta dan sekitarnya sangat bergantung pada Program JKN untuk mengakses layanan kesehatan," jelas Wahyu.
Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar upaya sosialiasi skrining kesehatan jiwa berbasis SRQ-20 harus semakin digaungkan karena potensi kasus terkait kesehatan jiwa terus meningkat. Ia menekankan bahwa pencegahan timbulnya gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan, komunitas, dan masyarakat.
"Jumlah kasus gangguan jiwa terus meningkat tiap tahunnya, sehingga layanan kesehatan jiwa dalam Program JKN harus inklusif, berkesinambungan, dan tidak diskriminatif. Masyarakat juga harus memastikan keaktifannya sebagai peserta JKN, sehingga saat mengakses layanan kesehatan jiwa tidak menemui kendala," tegas Timboel.
Timboel berharap semakin banyak fasilitas kesehatan yang mampu menangani layanan kesehatan jiwa, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Semakin dekat layanan dengan masyarakat, semakin cepat pula gangguan mental dapat ditangani.