"Ketika (putusan) ini nanti sudah inkracht, kami akan melakukan satu langkah administratif. Memastikan bahwa perkawinannya akan dibatalkan," ujarnya.
Terkait kondisi korban, Hendri mengatakan sudah berada di rumah aman (safe house) KBRI Riyadh sejak Februari 2025 dan dalam kondisi terlindungi.
"Dan kalau tidak salah setiap minggu sekali orangtuanya masih bisa telepon," tutur dia.
Sebelumnya diberitakan, Kejari Jakarta Barat melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN) melanjutkan proses hukum gugatan pembatalan perkawinan antara WNI dan WNA asal Arab Saudi.
Sidang kedua digelar pada Selasa, 12 Agustus 2025, di Pengadilan Agama Jakarta Barat dengan agenda jawaban turut tergugat dan pembuktian.
Baca Juga: Dugaan Prostitusi hingga TPPO, Diskotek di Tamansari Jakbar Disegel Permanen
JPN Kejari Jakarta Barat bertindak sebagai penggugat berdasarkan kuasa dari Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Hendri Antoro, diwakili Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Kasi Datun) Anggara Hendra Setya Ali beserta tim. Persidangan dihadiri Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Cengkareng selaku turut tergugat.
Tergugat I Hamad Saleh dan tergugat II Alifah Futri tidak hadir meski telah dipanggil secara sah melalui rogatori, mengingat keduanya berdomisili di Arab Saudi. Sesuai ketentuan hukum, sidang tetap dilanjutkan meskipun para tergugat tidak hadir.
Kejari Jakarta Barat memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan berdasarkan Staatsblad 1922 Nomor 522, Pasal 123 Ayat (2) HIR, serta Pasal 18 Ayat (2) dan Pasal 30C huruf F UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam perkara ini, JPN bertindak untuk melindungi kepentingan umum, khususnya korban yang diduga menjadi korban TPPO dengan modus perkawinan rekayasa.
Permohonan pembatalan diajukan berdasarkan informasi dari Atase Hukum KBRI Riyadh yang mengindikasikan adanya dugaan TPPO, di mana korban WNI diduga dieksploitasi oleh pasangannya.
Hasil pemeriksaan awal JPN menunjukkan indikasi perkawinan tidak dilaksanakan sesuai prosedur hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 26 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.