Awalnya, Susmadi berpenghasilan sekitar 500-600 ribu per hari sebelum adanya tanggul beton tersebut.
"Sekarang paling Rp100 sampai Rp200 ribu, itu pun belum dipotong solar. Kadang buat beli kopi sama rokok saja susah," ujar dia.
Selain itu, kondisi ini juga berdampak pada biaya operasional. Satu jeriken solar berkapasitas 30 liter kini dibanderol sekitar Rp260 ribu.
Baca Juga: Gubernur Banten Susur Sungai di Kali Angke, Soroti 'Pulau' Sampah dan Tanggul Jebol
Jika dulu cukup satu jeriken untuk sekali melaut, kini mereka membutuhkan dua kali lipat.
"Belum beli solarnya solar 1 dirigen itu 260.000 mahal sekarang, jadi kadang dua dirigen juga solar itu sehari," ungkap dia.
Bahkan, dikatakan Susmadi, hingga saat ini tidak ada sosialisasi dari PT KCN mengenai pembuatan tanggul beton tersebut.
"Terus juga kan sampai sekarang dari awal berdirinya itu PT kcn tanggul tanggul juga itu sampai sekarang itu nggak ada sosialisasi sama sekali kita masyarakat sini," ungkapnya.
Baca Juga: Tanggul di Kali Krukut Jaksel Jebol, Begini Penjelasan Dinas SDA
Selain tanggul, persoalan limbah dari perusahaan di kawasan itu juga menghantui. Air laut yang tercemar membuat ikan semakin sulit ditemukan, bahkan tak jarang berbau menyengat.
“Kalau ombak besar masih bisa dilawan. Tapi kalau limbah, bagaimana cara lawannya? Ikan-ikan mati kena air limbah,” ucapnya lirih.
Ia mengaku pernah sebulan penuh tak melaut, karena perairan dipenuhi limbah berwarna hijau pekat. Bau menusuk tercium hingga ke pemukiman warga.