Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan dengan enteng menyebut rakyatnya sendiri “tolol”. Sebuah cermin betapa jauhnya jarak empati antara rakyat dan mereka yang seharusnya mewakili rakyat.
Di sisi lain, kasus korupsi justru makin menggila. Tidak hanya warisan masa lalu yang belum terselesaikan, tapi kasus-kasus baru terus bermunculan. Penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan oleh KPK adalah potret mutakhir dari bobroknya moral sebagian pejabat. Alih-alih menjadi teladan, mereka justru mempermainkan amanah demi keuntungan pribadi.
Baca Juga: Kopi Pagi: Menjaga Konstitusi Negara
Hukum semakin terasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Ketidakadilan semakin telanjang terlihat. Rakyat kecil diproses hukum dengan cepat, keras, dan tanpa ampun, sementara pejabat atau orang kuat sering lolos dengan berbagai cara.
Ketidakadilan ini menambah bara kemarahan rakyat, karena mereka merasakan negara tidak lagi hadir untuk melindungi, melainkan menekan.
Ketika ekonomi sulit, pemimpin semestinya hadir memberi arah dan pengharapan. Namun yang terlihat justru sebaliknya: kebijakan yang tidak berpihak, aparat yang represif, dan hukum yang terkesan manipulatif.
Tidak mengherankan bila rakyat kini semakin sensitif, karena penderitaan yang mereka tanggung tidak sebanding dengan kepekaan pemerintah dan para wakilnya.
Baca Juga: Kopi Pagi: Merajut Kebersamaan (1)
Demonstrasi yang terjadi bukan sekadar letupan emosional, melainkan akumulasi dari rasa ketidakadilan, kesenjangan, dan kekecewaan.
Rakyat menuntut hak mereka, menagih janji-janji negara yang sejak lama diabaikan. Dan, ketika tuntutan itu tidak dipenuhi, maka aksi turun ke jalan menjadi bahasa terakhir yang bisa mereka lakukan.
Di sinilah Presiden Prabowo ditantang sejarah. Apakah ia akan mengambil langkah tegas untuk merombak tatanan yang bobrok, atau justru membiarkan warisan kepemimpinan sebelumnya terus menjadi beban?
Pemecatan Kapolri Listyo Sigit bisa menjadi simbol awal reformasi yang nyata, sekaligus pesan keras bahwa negara kembali ke jalur keberpihakan pada rakyat.