JAKARTA, POSKOTA.CO.ID – Usulan anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan, agar PT KAI menyediakan gerbong khusus merokok menuai kritik keras dari kalangan kesehatan.
Epidemiolog sekaligus pengamat kesehatan, Dicky Budiman, menilai wacana tersebut berisiko tinggi bagi kesehatan publik dan bertentangan dengan prinsip udara bersih.
“Ini ide yang berisiko tinggi secara kesehatan, sulit dikendalikan secara teknis, dan tidak sesuai dengan prinsip perlindungan kesehatan publik,” kata Dicky kepada Poskota, Jumat, 22 Agustus 2025.
Ia menjelaskan, bahaya rokok tidak hanya saat dihirup langsung, tetapi juga meninggalkan residu berbahaya yang menempel pada benda di sekitar atau disebut third-hand smoke.
Baca Juga: Jusuf Hamka Bongkar Tips Atur Gaji UMR agar Bisa Punya Rumah, Pesan Keras untuk Milenial
"Residu nikotin, tar, dan nitrosamin bisa bertahan berhari-hari hingga berbulan-bulan pada kursi, dinding, tirai, bagasi, pakaian, hingga rambut," ujarnya.
Lebih lanjut, zat-zat tersebut dapat kembali terlepas ke udara (re-emission) akibat perubahan suhu, kelembapan, atau saat permukaan terganggu.
“Paparan residu ini bisa masuk lewat pernapasan, kontak kulit, bahkan tertelan bersama debu, dan ini berbahaya terutama untuk anak-anak, ibu hamil, lansia, serta penderita penyakit jantung dan asma,” jelas Dicky.
Ia menegaskan, pemisahan ruang atau sistem ventilasi tidak mampu mencegah sepenuhnya penyebaran asap maupun residu rokok.
Baca Juga: Pria Gangguan Jiwa Ditemukan Tak Bernyawa di Kali Cinangneng Bogor
"Apalagi pintu antar-gerbong yang sering terbuka dan sirkulasi udara terhubung antar-ruang membuat asap tetap berpotensi bocor ke gerbong lain," ucapnya.
Dicky juga mengingatkan soal vape atau rokok elektrik yang sering dianggap aman. Menurutnya, aerosol vape mengandung nikotin, logam, karbonat, dan glikol yang juga meninggalkan residu berbahaya, ditambah risiko kebakaran dari baterai.
“WHO melalui FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) sudah jelas menganjurkan transportasi umum harus 100 persen bebas asap rokok. Usulan gerbong khusus merokok ini justru langkah mundur, tidak berbasis sains, dan bisa memicu sengketa hukum jika ada penumpang terdampak,” tegasnya.
Ia merekomendasikan agar seluruh transportasi umum steril dari rokok dan vape. Area merokok, kata dia, sebaiknya hanya tersedia di ruang terbuka yang jauh dari stasiun maupun jalur pejalan kaki.
“Alih-alih membuat gerbong merokok, yang harus dilakukan adalah memperkuat aturan, sanksi progresif, serta edukasi publik soal hak masyarakat terhadap udara bersih. Kereta juga perlu monitoring rutin kualitas udara, terutama PM2.5, demi transparansi kepada publik,” kata Dicky.
Sebelumnya, anggota Komisi VI DPR, Nasim Khan, mengusulkan PT KAI kembali menyediakan gerbong khusus merokok pada layanan kereta jarak jauh.
“Ini ada masukan juga, gerbong yang selama ini ada, tapi setelah itu dihilangkan, sisakan satu gerbong untuk kafe, untuk ngopi. Paling tidak di situ untuk smoking area, Pak,” ujar Nasim di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 20 Agustus 2025.
Ia meyakini keberadaan gerbong merokok bisa memberi keuntungan bagi PT KAI.
“Nah, karena banyak kereta tidak ada smoking area, Pak Bobby. Nah, paling tidak dalam kereta ini ada satu gerbong. Saya yakin, Pak, saya yakin itu pasti bermanfaat dan menguntungkan buat kereta api, ya, kan? Pasti banyak itu, satu aja, terus smoking,” ucapnya. (cr-4)