POSKOTA.CO.ID - Tanah di Indonesia adalah sumber daya terbatas yang memiliki peran strategis dalam mendukung pembangunan nasional.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan masih banyak lahan yang tidak dimanfaatkan secara produktif, bahkan terbengkalai selama bertahun-tahun. Fenomena ini memicu berbagai persoalan, mulai dari stagnasi pembangunan daerah, spekulasi harga tanah, hingga ketimpangan penguasaan lahan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan kebijakan penarikan tanah yang tidak dimanfaatkan selama lebih dari dua tahun. Langkah ini sejalan dengan prinsip “tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Baca Juga: Ramalan Zodiak Cancer Sabtu, 9 Agustus 2025: Penuh Perasaan dan Insting yang Tajam
Prinsip Dasar Hak atas Tanah di Indonesia
Menurut Nusron Wahid, tanah di Indonesia sejatinya adalah milik negara. Masyarakat hanya memperoleh hak untuk menguasai atau memanfaatkannya, bukan memiliki secara absolut. Hal ini merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menegaskan negara sebagai pihak yang mengatur dan mengelola pemanfaatan tanah demi kesejahteraan bersama.
Pernyataan Nusron yang menyoal klaim “tanah warisan leluhur” juga mempertegas konsep ini. Menurutnya, warisan hanya berarti pengalihan hak guna, bukan hak kepemilikan mutlak yang berlaku selamanya tanpa kewajiban memanfaatkan lahan secara produktif.
Mekanisme Penetapan Tanah Terlantar
Kementerian ATR/BPN menetapkan status tanah terlantar melalui prosedur yang terukur dan transparan. Berdasarkan regulasi yang berlaku, proses ini memakan waktu sekitar 578 hari atau hampir dua tahun, mencakup:
- Identifikasi dan Pemetaan
Tim melakukan survei dan verifikasi awal untuk mendata lahan yang diduga tidak digunakan sesuai peruntukan. - Pemberian Peringatan
Pemegang hak diberi peringatan tertulis agar segera memanfaatkan tanah tersebut. - Monitoring dan Evaluasi
Dilakukan pengecekan lapangan untuk memastikan ada atau tidaknya upaya pemanfaatan lahan. - Penetapan Status Tanah Terlantar
Jika tidak ada perubahan, pemerintah menetapkan lahan tersebut sebagai tanah terlantar dan mengembalikannya menjadi tanah negara.
Pemanfaatan Tanah yang Ditarik Negara
Setelah kembali menjadi tanah negara, lahan tersebut dapat digunakan untuk berbagai kepentingan publik, seperti:
- Pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, fasilitas transportasi)
- Penyediaan fasilitas umum (sekolah, rumah sakit, taman kota)
- Program reforma agraria untuk pemerataan akses lahan bagi masyarakat kecil dan petani
Kebijakan ini memastikan tanah tidak hanya menjadi objek investasi pasif, tetapi benar-benar menjadi modal pembangunan nasional.
Dampak Positif Kebijakan
a. Mengoptimalkan Aset Nasional
Lahan yang sebelumnya menganggur dapat dimanfaatkan untuk proyek strategis.
b. Mengurangi Spekulasi Tanah
Pemilik lahan tidak lagi bisa menahan tanah dalam jangka panjang hanya untuk menunggu kenaikan harga.
c. Mendukung Reforma Agraria
Petani dan masyarakat kecil mendapatkan peluang lebih besar untuk mengakses lahan produktif.
d. Memacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Tanah yang produktif mendorong kegiatan ekonomi baru di wilayah tersebut.
Tantangan dan Potensi Polemik
Meski memiliki tujuan mulia, kebijakan ini juga berpotensi memicu perdebatan, terutama terkait:
- Hak waris: Sebagian masyarakat merasa aturan ini mengancam tanah turun-temurun.
- Transparansi verifikasi: Kekhawatiran muncul jika proses identifikasi tanah terlantar tidak berjalan adil.
- Potensi sengketa: Salah penetapan status tanah dapat memicu konflik hukum.
Pakar hukum agraria mengingatkan bahwa prosedur yang akuntabel adalah kunci untuk menghindari kesalahan dan penyalahgunaan wewenang.
Dari kacamata sosial, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan. Banyak masyarakat di pedesaan memandang tanah sebagai bagian dari identitas keluarga dan sumber kehidupan.
Kebijakan ini bisa menjadi momentum untuk mengubah paradigma bahwa kepemilikan tanah tidak cukup hanya diakui secara hukum, tetapi juga dibuktikan dengan pemanfaatan nyata.
Seorang petani di Jawa Tengah, misalnya, menyebut bahwa “tanah yang dibiarkan kosong sama saja seperti sumur yang tidak pernah diambil airnya” — potensi besar yang terbuang sia-sia.
Keselarasan dengan Reforma Agraria
Kebijakan penarikan tanah menganggur ini sejalan dengan semangat reforma agraria, yang bertujuan mengatur ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk pemerataan kesejahteraan.
Dengan mengoptimalkan tanah negara, pemerintah dapat:
- Membuka akses lahan bagi masyarakat miskin
- Mengurangi ketimpangan penguasaan tanah
- Mendorong pembangunan berkelanjutan
Baca Juga: Ramalan Zodiak Cancer Sabtu, 9 Agustus 2025: Penuh Perasaan dan Insting yang Tajam
Harapan dan Langkah ke Depan
Pemerintah saat ini memantau sekitar 100 ribu hektare lahan yang terindikasi terlantar. Harapannya, kebijakan ini akan menghidupkan kembali lahan-lahan tersebut menjadi pusat produktivitas.
Bagi masyarakat, pesan yang disampaikan jelas:
tanah adalah hak guna, bukan hak simpan. Jika tidak dimanfaatkan, negara berhak mengambil kembali demi kemaslahatan bersama.
Kebijakan penarikan tanah menganggur selama dua tahun merupakan langkah strategis untuk memastikan sumber daya terbatas seperti tanah dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Meski menuai pro dan kontra, inti dari kebijakan ini adalah mendorong produktivitas, pemerataan pembangunan, dan keadilan sosial.
Dengan penerapan yang transparan, partisipasi masyarakat, dan pengawasan ketat, kebijakan ini berpotensi menjadi tonggak penting dalam sejarah pengelolaan agraria Indonesia.