POSKOTA.CO.ID - Di tengah tekanan ekonomi dan gaya hidup yang dinamis, banyak anak muda merasa sulit memilih antara menabung untuk masa depan atau menikmati hasil kerja keras saat ini.
Namun, munculnya konsep soft saving memberikan alternatif yang lebih realistis dan menyenangkan bagi generasi muda, khususnya Gen Z.
Soft saving bukan sekadar strategi keuangan, melainkan pendekatan yang menekankan keseimbangan antara konsistensi menabung dan menjaga kesehatan mental.
Tanpa angka-angka kaku atau tekanan sosial, metode ini membantu individu membangun kebiasaan menabung secara fleksibel sesuai kemampuan masing-masing.
Baca Juga: Tiba-Tiba Tidak Dapat Bansos? Ini 5 Penyebab Nama Anda Bisa Hilang dari Daftarnya!
Menurut pendiri Justart Financial Dinda NM, soft saving fokus pada membentuk kebiasaan menabung, bukan memaksakan persentase tertentu dari penghasilan.
Jika standar umum menyarankan alokasi 20–30 persen untuk tabungan, dalam soft saving, nominalnya bisa disesuaikan.
“Nggak apa-apa living cost kamu naik jadi 80 persen, asal sisanya tetap dialokasikan untuk kebahagiaan dan tabungan. Jangan terlalu kaku,” kata Dinda.
Baca Juga: 4 Cara Membeli Bitcoin di Indonesia Secara Online, Simak Panduannya!
Risiko dan Tantangan di Balik Soft Saving
Meski terdengar menyenangkan, soft saving juga punya tantangan. Karena sifatnya yang fleksibel ada risiko individu jadi terlalu santai dan tidak mendorong diri untuk meningkatkan jumlah tabungan.
Dinda mengingatkan bahwa tren YOLO dan FOMO yang melekat pada Gen Z bisa menjadi jebakan.