Keputusan awal Asus menggunakan prosesor Intel menjadi bumerang. Sistem Android tidak optimal berjalan pada chipset ini. Banyak aplikasi tidak kompatibel atau berjalan lambat. Saat akhirnya Asus beralih ke Snapdragon, pesaing mereka sudah terlalu jauh melaju.
2. ZenUI yang Berat dan Tidak Stabil
Antarmuka ZenUI memang punya identitas visual, tapi keluhan soal performa lambat, bug, dan boros baterai terus bermunculan. Pengalaman pengguna yang buruk menjadi salah satu faktor utama konsumen berpaling ke merek lain yang menawarkan UI lebih ringan dan mulus.
3. Inovasi Desain yang Mandek
Saat produsen lain seperti Xiaomi dan Samsung berlomba membuat desain bezel-less atau punch-hole, Zenfone masih berkutat dengan estetika lama. Produk mereka terlihat "tua" di tengah pasar yang menginginkan kesegaran desain.
4. Salah Fokus Segmen Pasar
Alih-alih terus memperkuat posisi di kelas menengah yang sudah mapan, Asus justru mencoba naik kelas melalui seri Zenfone Deluxe dan Zoom yang menyasar segmen premium. Sayangnya, mereka masuk ke segmen ini tanpa diferensiasi kuat, dan akhirnya kalah telak dari merek-merek besar.
5. Terlalu Fokus ke ROG Phone
Lini ROG Phone memang sukses besar dan menjadi standar baru smartphone gaming. Namun, perhatian Asus yang terlalu condong ke ROG membuat Zenfone seperti proyek sampingan. Produk Zenfone terbaru seperti Zenfone 9 atau Zenfone X sebenarnya sangat solid, namun minim eksposur dan promosi.
Asus Zenfone Hari Ini: Masih Hidup, Tapi Tak Terlihat
Masih ada beberapa produk Zenfone yang dirilis dalam beberapa tahun terakhir, bahkan dengan kualitas unggulan: desain ringkas, chipset flagship, baterai tahan lama, dan antarmuka ZenUI yang lebih ringan. Namun, strategi Asus untuk memproduksi secara terbatas, menjual dengan harga premium, dan tidak gencar promosi membuat Zenfone terasa “eksklusif”—bukan dalam arti positif, tapi dalam konteks tidak dikenali oleh pasar.
Dari kacamata manusia dan bukan sekadar data, Asus seperti perusahaan yang terlena oleh masa lalu. Mereka berhasil menggebrak, namun gagal mempertahankan irama. Ketika konsumen berubah dan kompetitor bergerak cepat, Asus justru diam terlalu lama, mencoba bertaruh di segmen yang belum tentu cocok.
Zenfone adalah simbol dari bagaimana satu keputusan teknologi bisa memicu rangkaian efek domino. Prosesor Intel, UI berat, fokus yang menyimpang, dan promosi yang minim adalah kombinasi fatal. Namun ini bukan berarti mereka tidak bisa bangkit.
Baca Juga: Dedi Mulyadi dan Ayu Ting Ting Dikabarkan Dekat, Ini Respons Mengejutkan Ayah Ojak
Harapan dan Peluang: Comeback Masih Mungkin Terjadi
Dengan pengalaman dan sumber daya yang dimiliki Asus, peluang untuk comeback masih terbuka. Mereka bisa menghidupkan kembali Zenfone sebagai produk andalan kelas menengah yang stylish, ringan, dan inovatif. Namun, syaratnya tidak ringan:
- Fokus ulang pada segmen menengah dengan harga kompetitif
- Promosi agresif dan edukatif untuk membangun kembali kesadaran merek
- Desain dan UI yang segar serta ramah pengguna
- Perkuat layanan purna jual, khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara
Asus Zenfone adalah salah satu kisah naik-turun paling menarik di industri teknologi. Mereka pernah menjadi raja di pasar smartphone kelas menengah, namun jatuh karena terlalu lambat beradaptasi dan kurang memahami perubahan lanskap pasar.
Bagi konsumen, Zenfone adalah nostalgia akan masa ketika Rp2 juta bisa membawa pulang ponsel kelas dewa. Bagi pelaku industri, Zenfone adalah pengingat bahwa inovasi awal bukan jaminan keberlangsungan. Butuh konsistensi, kemampuan membaca arah pasar, dan keberanian mengubah strategi.