Saat hujan deras, Maryani mengaku harus menaruh lima hingga enam ember untuk menampung air dari atap bocor. Bahkan, saat hujan deras, air bisa masuk hingga setinggi pinggang orang dewasa.
“Kalau hujan tinggi, bisa banjir sepinggang. Bale (tempat tidur dari kayu) saya bikin tinggi di tengah ruangan, biar kalau banjir anak saya tetap bisa istirahat,” katanya.
Ironisnya, meski tinggal di wilayah rawan banjir dan tinggal di rumah yang tidak layak huni, Maryani mengaku belum pernah menerima bantuan dari pemerintah.
Baca Juga: Pengamat Nilai Wali Kota Bekasi Tak Paham Kewajiban Sediakan Angkutan Umum
“Selama saya di sini, enggak pernah ada bantuan. Padahal rumah saya ini yang paling dalam kalau banjir, dan paling lama surut. Kadang bisa seharian lebih baru kering,” ungkapnya.
Jika banjir sudah tak terkendali, keluarga Maryani terpaksa mengungsi ke rumah saudara terdekat.
“Kalau air makin naik dan nggak memungkinkan di sini, kami buru-buru ngungsi. Tapi ya, semua sendiri. Nggak ada bantuan apa-apa dari pemerintah. Dulu pas banjir 2020, kami bablas aja mengungsi,” tutur dia.
Rasa khawatir selalu menyelimuti Maryani, terutama saat hujan di malam hari. Ia takut rumah sewaktu-waktu roboh ketika keluarganya sedang tidur.
Baca Juga: Pengamat Sebut Gaji Rp10 Juta Tak Cukup untuk Warga Bekasi
“Dulu saya pernah lagi enak tidur, tahu-tahu ngambang. Saya takut kesetrum juga, karena kabel di rumah udah ke mana-mana,” ucap dia.
Ia berharap, ada perhatian serius dari pemerintah agar keluarganya bisa tinggal di tempat yang lebih aman dan layak. (CR-3)