Di Indonesia, bicara uang sering dianggap tidak pantas, bahkan di lingkup keluarga. Padahal, data OJK 2024 menunjukkan literasi keuangan nasional hanya 49,68%.
"Kita lebih nyaman bahas masalah rumah tangga daripada gaji. Padahal, transparansi finansial penting untuk bangun sistem yang adil," jelasnya.
Melalui live call, mereka memberi ruang bagi audiens untuk curhat masalah keuangan tanpa rasa takut.
Salah satu momen paling berkesan adalah ketika seorang tenaga honorer menangis karena tak mampu mencicil motor.
"Kami enggak langsung kasih ceramah, tapi dengar dulu. Baru cari solusi bersama," kata Kalimasada.
Kritik terhadap Kurikulum dan Kesalahan Pemahaman Ekonomi
Sebagai mantan dosen keuangan, Kalimasada menilai pendidikan formal kurang relevan. Ia menyoroti kesalahan penerjemahan konsep scarcity sebagai "kelangkaan", padahal seharusnya "keterbatasan".
"Ini bukan cuma soal bahasa, tapi filosofi ekonomi yang keliru," tegasnya.
Ia juga menepis anggapan bahwa manusia selalu rasional dalam mengambil keputusan finansial. "Teori homo economicus sudah ketinggalan zaman.
Faktanya, manusia sering bertindak berdasarkan emosi," ujarnya, merujuk riset Daniel Kahneman, peraih Nobel di bidang behavioral economics.
Realita KPR dan Utang Konsumtif yang Menjerat
Dalam wawancara tersebut, Kalimasada mengkritik kebiasaan masyarakat mengambil KPR dan utang konsumtif demi gengsi.
Data Bank Indonesia 2024 menunjukkan 60% gagal bayar berasal dari utang konsumtif.
"Nikmat punya rumah baru cuma 3-4 bulan. Setelah itu, yang ada cicilan membebani," ujarnya.