POSKOTA.CO.ID - Fenomena investasi dalam Bitcoin kerap dihubungkan dengan spekulasi. Namun, bagi sebagian orang, Bitcoin bukan semata instrumen spekulatif, melainkan jalan keluar dari sistem finansial konvensional yang dianggap rentan.
Sang investor yang kini telah memasuki episode ke-14 pembelian Bitcoin secara rutin senilai Rp100 juta menegaskan bahwa langkah ini adalah respons strategis terhadap ketidakpastian global. Ia menyebut bahwa uang kertas hanya berfungsi selama masyarakat percaya akan nilainya. Begitu kepercayaan goyah, maka mata uang bisa runtuh dalam waktu yang singkat.
Wawancara bersama seorang warga Turki mengonfirmasi realitas ini. Negara yang sebelumnya stabil, kini harus menerima fakta bahwa Lira Turki telah terdepresiasi ekstrem dari 1 dolar setara 4 Lira lima tahun lalu menjadi sekitar 32 Lira per dolar. Inflasi yang awalnya “sekadar naik harga” berubah menjadi spiral hiperinflasi, yang merusak daya beli masyarakat, psikologi kolektif, dan stabilitas politik.
Tiga Tingkatan Mata Uang Dunia
Dilansir dari channel Youtube @Timothy Ronald, Dalam penjelasan yang mendalam, investor tersebut membagi mata uang global dalam tiga kategori (tier):
- Tier 1 – US Dollar
- Mata uang cadangan dunia.
- Digunakan dalam transaksi minyak dan komoditas strategis.
- Dipercaya secara luas sebagai penyimpan nilai, meskipun secara fundamental tetap berbasis kepercayaan.
- Tier 2 – Mata Uang Negara Maju
- Contohnya: Swiss Franc, Yen Jepang, Yuan Tiongkok.
- Cenderung lebih stabil tetapi tetap rentan terhadap krisis global.
- Tier 3 – Mata Uang Negara Berkembang
- Contohnya: Peso Argentina, Lira Turki, dan banyak mata uang lain yang sering kali dilemahkan oleh kebijakan cetak uang.
Ia menegaskan, ketika sebuah mata uang sudah rutin melemah 15-20% per tahun, masyarakat pelan-pelan beralih ke Tier 1 atau mencari alternatif seperti Bitcoin. Fenomena di Turki membuktikan, penggunaan dolar meningkat secara signifikan, bahkan transaksi sehari-hari pun mulai dilakukan dengan dolar.
Krisis Ekonomi dan Inflasi di Turki
Menurut narasumber asal Turki, inflasi mulai melonjak sejak pandemi COVID-19. Setelah itu, konflik bersenjata di perbatasan dengan Suriah dan dampak perang Rusia-Ukraina memperburuk keadaan. Harga-harga kebutuhan pokok berubah setiap hari.
Misalnya, harga susu, beras, hingga pakaian melonjak hampir tiap pekan. Bahkan karyawan supermarket harus mengganti label harga setiap hari. Keadaan ini menciptakan stres kronis di masyarakat. Banyak warga Turki tidak lagi menaruh kepercayaan pada Lira, lalu menukar penghasilan ke dolar atau Bitcoin.
Sang narasumber menyebut, sekitar 70% generasi muda Turki memahami dan menggunakan aset kripto, bukan hanya untuk investasi, tetapi sebagai upaya mempertahankan nilai kekayaan.
Bitcoin Sebagai Alternatif
Ketika mata uang negara melemah, masyarakat cenderung mencari aset yang “netral.” Bitcoin, dengan karakteristik supply terbatas dan jaringan global, menjadi pilihan populer.
Investor Indonesia dalam dokumentasi ini menunjukkan bahwa dengan modal Rp1,4 miliar, kini portofolionya telah tumbuh menjadi sekitar Rp2,2 miliar. Pertumbuhan ini memang tidak lepas dari volatilitas harga Bitcoin, tetapi juga mencerminkan satu hal: daya tarik aset kripto semakin kuat ketika masyarakat kehilangan keyakinan pada sistem keuangan konvensional.