“Saya tinggal di sini baru satu tahun. Saya belinya dari pemilik yang bilang ini tanah hak pakai, dan suratnya ditandatangani desa. Kita bangun sendiri, habis Rp100 juta termasuk pasang PLN dan PAM,” tutur Masripah.
Sejak awal, Masripah mengaku tahu tanah tersebut milik pemerintah. Namun, ia tak menyangka akan digusur secepat ini tanpa sosialisasi atau mediasi.
“Kita tahu ini tanah pemerintah, hak pakai. Tapi kita dijanjikan 17 tahun baru digusur, makanya berani beli. Tapi tiba-tiba dapat SP 1, 2, 3. Kita tanya ke desa dan teman-teman, nggak ada jawaban,” ujarnya.
Ia menyebut pihak desa dan oknum yang menjual tanah hanya mencari untung. Saat warga butuh kejelasan dan bantuan, tak satupun pejabat turun tangan.
“Mereka cuma cari untung. Kita dijadikan korban. Kita nggak tinggal di atas kali, tapi disebut bangunan liar di bantaran. Kalau ini untuk kepentingan bersama, kita rela digusur. Tapi kasih solusi dong,” kata Masripah.
Atas kejadian yang menimpa dirinya saat ini Masripah berharap Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) bisa memberi perhatian terhadap nasib warga terdampak yang kehilangan tempat usaha.
“Kalau benar ini proyek dari Pak KDM, kami harap beliau bisa turun ke sini. Lihat langsung kondisinya. Kami cuma butuh kejelasan dan sedikit bantuan,” imbuhnya.
Selain itu, ia juga berharap pemerintah bisa memberikan kompensasi. Sebab, banyak warga yang kehilangan sumber penghasilan akibat pembongkaran mendadak tersebut.
“Untuk rumah, saya masih punya tempat tinggal. Tapi usaha salon ini kan baru satu tahun. Sekarang mau usaha apa lagi? Kami butuh makan,” jelasnya. (CR-3)