POSKOTA.CO.ID - Musim hujan datang lagi, dan seperti ritual tahunan, banjir kembali menerjang wilayah timur Jakarta. Banjir Kanal Timur (BKT) yang diharapkan menjadi solusi permanen, ternyata belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah ini.
Padahal, proyek yang menghabiskan waktu puluhan tahun dari perencanaan hingga realisasi ini seharusnya menjadi penangkal banjir yang efektif bagi ibukota.
Faktanya, BKT justru menjadi cerminan kompleksitas penanganan banjir di Jakarta. Kanal yang mulai dibangun pada 2002 dan selesai delapan tahun kemudian ini harus berhadapan dengan perubahan lanskap kota yang drastis, pembebasan lahan yang rumit, dan sistem pendukung yang belum optimal.
Kisah sejarah BKT mengajarkan bahwa membangun infrastruktur besar saja tidak cukup, diperlukan pendekatan terpadu untuk benar-benar mengatasi banjir di Jakarta.
Gagasan Lama, Realisasi yang Tertunda
Proyek BKT pertama kali dirancang pada 1973 oleh NEDECO, konsultan teknik asal Belanda. Kanal ini dimaksudkan untuk menampung luapan enam sungai di wilayah timur Jakarta: Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, Cakung, dan sekitarnya.
Namun, butuh waktu hampir 30 tahun bagi pemerintah untuk memulai pembangunannya pada 2002. Kanal tersebut akhirnya selesai pada 2010, hampir empat dekade sejak pertama kali diwacanakan.
Penundaan ini bukan tanpa alasan. Kawasan timur Jakarta yang dulunya relatif terbuka telah berubah menjadi permukiman padat sejak 1980-an. Pembebasan lahan menjadi tantangan terbesar, sementara biaya proyek terus membengkak akibat inflasi dan perubahan tata ruang.
Warisan Kolonial yang Tak Lagi Memadai
BKT sebenarnya adalah bagian dari Master Plan Drainase dan Pengendalian Banjir Jakarta, yang mengadopsi ide insinyur era kolonial seperti van Breen dan van Blommestein. Mereka membayangkan Jakarta dilindungi oleh dua kanal utama: Banjir Kanal Barat (BKB) dan Banjir Kanal Timur (BKT).
Namun, Jakarta kini jauh berbeda dari masa kolonial. Urbanisasi yang masif ke timur dan selatan membuat lahan resapan menyusut, saluran air menyempit, dan sedimentasi semakin cepat. Akibatnya, BKT tidak lagi cukup untuk menanggulangi banjir yang semakin kompleks.
BKT Sudah Berdiri, Tapi Banjir Tak Juga Hilang
Meski telah beroperasi sejak 2010, BKT belum sepenuhnya membebaskan Jakarta Timur dari banjir. Masalahnya bukan hanya pada ukuran kanal, melainkan juga sistem pendukung yang belum optimal.
Banyak saluran kecil belum terhubung langsung ke BKT, normalisasi sungai belum merata, dan ruang resapan air telah beralih fungsi menjadi permukiman dan beton.
Akibatnya, genangan masih sering terjadi, bahkan di sekitar kawasan kanal itu sendiri. BKT menjadi bukti bahwa infrastruktur pengendali banjir tidak bisa bekerja sendiri, diperlukan integrasi sistem, koordinasi lintas wilayah, dan penataan ulang tata ruang yang berani.
Jakarta Butuh Solusi yang Lebih Holistik
Kisah BKT mengajarkan bahwa penanganan banjir tidak bisa hanya mengandalkan proyek infrastruktur besar. Perlu ada upaya serius untuk memperbaiki tata kelola air, mengendalikan alih fungsi lahan, dan memperkuat sistem drainasi mikro.
Tanpa itu, kanal sebesar apa pun hanya akan menjadi saluran air yang lewat, tanpa menyelesaikan akar masalah.
Jakarta telah menunggu BKT selama puluhan tahun. Namun, ketika kanal itu akhirnya selesai, kota sudah berubah, dan air tetap menemukan jalannya sendiri.