Baca Juga: Jejak Sejarah Pecinan Glodok, Pusat Perdagangan dan Budaya Tionghoa Sejak Abad ke-17
Daging untuk Penjajah, Tulang untuk Pribumi
Soto tangkar muncul pada masa kolonial Belanda ketika masyarakat Betawi tidak mampu membeli daging sapi. Saat itu, para meneer (tuan Belanda) kerap mengadakan pesta dengan hidangan mewah berbahan daging sapi, sementara bagian tulang iga, kepala, dan jeroan diberikan kepada pekerja pribumi.
Bagian-bagian sapi yang dianggap kurang premium itu kemudian diolah dengan bumbu tradisional, menghasilkan hidangan seperti soto tangkar.
Akulturasi Budaya dalam Semangkuk Soto

Tak hanya mencerminkan perjuangan warga Betawi di masa lalu, soto tangkar juga menjadi bukti akulturasi budaya yang kaya. Penggunaan santan dan rempah-rempah menunjukkan pengaruh India dan Arab, sementara teknik pengolahan daging serta penggunaan asam jawa tak lepas dari sentuhan kuliner Tionghoa.
"Proses ini menunjukkan bagaimana kuliner Betawi terbentuk dari silang budaya, kemudian menjadi identitas lokal yang kuat," jelas sejarawan kuliner, Ahmad Faisal.
Nikmat yang Tetap Abadi
Kini, soto tangkar tetap menjadi hidangan yang digemari, terutama di Jakarta dan sekitarnya. Disajikan dengan nasi hangat, lontong, atau ketupat, kelezatan soto tangkar terletak pada perpaduan gurih, manis, dan segar dari rempah-rempahnya.
Bagi pecinta kuliner sejarah, mencicipi soto tangkar bukan sekadar menikmati makanan, tapi juga menghargai warisan budaya yang bertahan melintasi zaman.
Di mana bisa mencoba soto tangkar? Beberapa kedai legendaris seperti Soto Tangkar H. Ma’ruf di Tanah Abang dan Soto Tangkar Cak Har di Ciledug masih setia menyajikan hidangan ini dengan cita rasa autentik.
Jadi, jika berkunjung ke Jakarta, jangan lupa mencicipi soto tangkar, hidangan sederhana yang menyimpan cerita besar dalam setiap suapannya.