Saat ini, tarif ojol mengacu pada Kepmenhub No. KP 564/2022, yang membagi tiga zona:
- Zona I (Sumatra, Jawa non-Jabodetabek, Bali): Rp1.850–Rp2.300/km
- Zona II (Jabodetabek): Rp2.600–Rp2.700/km
- Zona III (Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku, Nusa Tenggara): Rp2.100–Rp2.600/km
Baca Juga: Kurir dan Ojol Sambut Baik Rencana Pemprov Jakarta Turunkan Tarif Parkir
Penolakan dari Asosiasi Pengemudi
Rencana kenaikan tarif ini justru ditentang oleh Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia. Ketua Umum Garda, Raden Igun Wicaksono, menyatakan bahwa kebijakan ini tidak melibatkan kajian dari pihak pengemudi.
“Garda tidak setuju kenaikan tarif 8–15 persen karena tidak ada komunikasi dan kajian komprehensif,” tegas Igun.
Menurutnya, masalah utama bukan pada tarif, melainkan potongan biaya aplikasi yang dinilai terlalu tinggi, bahkan melebihi batas maksimal 20 persen yang diatur pemerintah. Garda menuntut:
- Pembatasan potongan aplikasi maksimal 10 persen
- Audit investigatif terhadap potongan tidak wajar
- Penghapusan skema kerja eksploitatif
Jika tuntutan tidak dipenuhi, Garda mengancam aksi "switch off" aplikasi oleh 500.000 pengemudi pada 21 Juli 2025.
SPAI: Kenaikan Tarif Tidak Efektif Tanpa Turunkan Potongan
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) juga menyoroti bahwa kenaikan tarif tidak akan signifikan jika potongan platform tetap tinggi. Ketua SPAI, Lily Pujiati, mengungkapkan bahwa pengemudi sering hanya menerima Rp5.200 dari tarif Rp18.000 untuk layanan pengantaran barang.
“Potongan saat ini melebihi 20 persen, bahkan ada yang mencapai 30 persen. Pemerintah harus tegas,” tegas Lily.
SPAI mendesak revisi aturan dengan:
- Penetapan upah berbasis UMP (Upah Minimum Provinsi)
- Pengakuan status “pekerja platform”, bukan “mitra”
- Penghapusan tarif sepihak untuk layanan pengantaran
Baca Juga: Kemenhub Setujui Kenaikan Tarif Ojol 8-15 Persen Usai Kajian, Begini Rincian Per Zona
Apa Selanjutnya?
Kemenhub berencana memanggil seluruh aplikator untuk membahas finalisasi kenaikan tarif. Namun, tekanan dari asosiasi pengemudi mungkin memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan ini, terutama terkait transparansi potongan aplikasi.