3 Strategi Filosofi Stoikisme untuk Mengatasi Penyesalan: Hidup Lebih Tenang dan Bebas Beban

Rabu 25 Jun 2025, 16:56 WIB
Ilustrasi mengatasi rasa penyelasan dengan filosofi stoikisme. (Sumber: Freepik/Cookie Studio)

Ilustrasi mengatasi rasa penyelasan dengan filosofi stoikisme. (Sumber: Freepik/Cookie Studio)

POSKOTA.CO.ID - Pernahkah Anda terbangun di pagi hari dengan beban penyesalan di dada? Mungkin itu kenangan akan kata-kata yang terucap di tengah emosi, keputusan tergesa-gesa, atau kesempatan yang terlewatkan.

Rasa menyesal bisa begitu menguasai, membuat kita terjebak di masa lalu yang tak bisa diubah.

Namun, bagaimana jika ada cara untuk melepaskan beban ini dan hidup lebih bebas? Filosofi Stoikisme menawarkan tiga strategi ampuh untuk mengatasi penyesalan dan mengubahnya menjadi kekuatan sebagaimana dilansir dari Daily Stoic.

Baca Juga: Filsafat Stoikisme: 7 Cara Mendapatkan Ketegaran Hati ala Para Filsuf Stoik

Memahami Penyesalan dari Sudut Pandang Stoik

Apa itu penyesalan? Filsuf Stoik Seneca dalam "Letters from a Stoic" pernah menulis, "Dua hal harus dicabut dari akar: rasa takut akan penderitaan di masa depan, dan kenangan atas penderitaan di masa lalu; karena yang terakhir tidak lagi menjadi urusanku, dan yang pertama belum menjadi urusanku."

Bayangkan skenario ini, setelah hari yang melelahkan Anda menemukan tumpukan piring kotor di rumah, padahal sudah meminta pasangan Anda mencucinya.

Kemarahan memuncak, dan Anda pun meluapkannya. Keesokan harinya, Anda merasa menyesal karena kehilangan kendali. Anda tahu seharusnya Anda lebih bijaksana, seharusnya bertindak berbeda.

Para filsuf Stoik mendefinisikan penyesalan sebagai kondisi di mana peristiwa masa lalu menguasai hidup kita di masa kini. Ini terjadi saat kita terpaku pada hal yang tak bisa diubah, atau ketika kita menolak takdir.

Baca Juga: Filsafat Stoikisme: Tips Mengatasi Rasa Penyesalan dengan Menggunakan Strategi Filsuf Stoik

Marcus Aurelius, dalam "Meditations", menyarankan kita untuk "puas dengan apa yang kita miliki, dan menerima masa kini seluruhnya."

Penyesalan adalah kebalikannya, penolakan terhadap apa yang telah terjadi dan ketidakpuasan terhadap keadaan saat ini.

Seneca juga mengatakan, "Kita sering menderita lebih banyak dalam imajinasi daripada dalam kenyataan." Ini berarti penyesalan hanyalah emosi yang muncul dari pikiran kita sendiri, keyakinan bahwa jika saja kita bertindak berbeda, hasilnya akan lain.

Marcus Aurelius sependapat dan memberikan solusi "Hal eksternal bukanlah masalah. Penilaianmulah yang jadi masalah. Dan itu bisa kamu ubah sekarang juga."

Baca Juga: Filsafat Stoikisme: Inilah Cara Meraih Tujuan dan Cita-Cita Menurut Para Filsuf Stoik

Dalam contoh tadi, penyesalan Anda bukanlah tentang piring atau pasangan, melainkan tentang ekspektasi Anda sendiri.

Anda berharap piring sudah bersih, dan ketika kenyataannya berbeda, Anda merasa seharusnya semua bisa lebih baik. Penyesalan adalah masalah internal dan kitalah yang harus mendiagnosis serta menyembuhkannya.

Mengapa Kita Merasa Menyesal? Menguak Akar Emosi Negatif

Frasa tanpa penyesalan begitu populer, tersebar di berbagai meme, kutipan inspiratif, dan lagu. Namun, realitanya setiap orang pernah menyesal.

Rasa itu bisa muncul tiba-tiba, bahkan saat kita merasa sudah melupakannya, dan rasanya memang menyakitkan.

Baca Juga: Stoikisme: Filsafat Kuno untuk Ketangguhan Mental dan Kebahagiaan Hidup

Penulis buku laris dan pendiri American Regret Project, Daniel Pink, menemukan bahwa 82 persen orang Amerika mengalami penyesalan setidaknya sesekali.

Pink menyebut penyesalan sebagai "emosi yang tak tergantikan," namun juga "alat positif untuk memperbaiki hidupmu." Artinya, untuk benar-benar berkembang, kita tidak bisa lari dari perasaan negatif.

Lalu, apakah kita harus menyerah pada penyesalan? Seorang penulis, Samuel Johnson merenungkan hal ini di tahun 1775, "Ketika aku menengok kembali tekad-tekad untuk memperbaiki diri yang dibuat dan dilanggar tahun demi tahun... mengapa aku masih mencoba lagi? Aku mencoba karena perubahan itu perlu dan keputusasaan adalah kejahatan."

Johnson memilih untuk merenung agar tidak mengulangi kesalahan, bukan terpuruk dalam penyesalan. Ini mengajarkan kita bahwa penyesalan mungkin tak terhindarkan, tetapi tindakan dan pola pikir kita adalah pilihan.

Baca Juga: 4 Pelajaran Stoikisme untuk Hidup yang Lebih Tenang dan Bermakna

Pertanyaannya bukan lagi "Mengapa saya menyesal?", tetapi ada pertanyaan lain, yaitu:

  • Bagaimana saya menghadapi penyesalan?
  • Bagaimana saya bisa bangkit dari penyesalan?
  • Bagaimana saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik karena penyesalan ini?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial ini, para filsuf Stoik melatih tiga strategi berikut:

3 Strategi Stoik Ampuh untuk Menghadapi dan Mengatasi Penyesalan

  1. Fokus pada Hal yang Bisa Anda Kendalikan atau Melepaskan Beban Masa Lalu

Epictetus, salah satu Stoik terbesar mengajarkan untuk membedakan hal-hal yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. "Setiap peristiwa memiliki dua pegangan: satu yang bisa diangkat, dan satu lagi yang tidak."

Kita bisa melihat masa lalu dari dua sudut pandang. Pegangan pertama memaksa kita melihat masa lalu sebagai penderitaan yang tak terhindarkan.

Pegangan kedua memungkinkan kita mengambil pelajaran dan memanfaatkannya. Pilihlah pegangan kedua.

Masa lalu sudah terjadi dan tak bisa diubah. Lalu, apa gunanya terperangkap dalam penyesalan? Tidak ada.

Dr. Edith Eger, penyintas Holocaust dengan bijak berkata: "Kalau aku tahu yang aku tahu sekarang, aku pasti bertindak berbeda. Selesai. Rasa bersalah itu milik masa lalu, dan satu hal yang tak bisa kamu ubah adalah masa lalu."

Seringkali kita tertipu oleh ilusi kendali. Kita berpikir jika kita cukup memikirkannya, kita bisa mengubah masa lalu.

Namun, kita harus menerima bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diubah. Marcus Aurelius mengingatkan,“Ingatkan dirimu bahwa masa lalu dan masa depan tak punya kuasa atasmu. Hanya saat ini dan itu pun bisa dibatasi.

"Lepaskan. Seperti kata pelatih legendaris Phil Jackson, "Melepaskan adalah gerbang mutlak menuju transformasi sejati."

  1. Cintai Takdirmu (Amor Fati)

Setelah kita tahu apa yang bisa kita kendalikan, langkah selanjutnya adalah memilih bagaimana kita merespons terlepas dari apakah kita bisa mengendalikannya atau tidak. Marcus Aurelius berkata, "Api yang menyala-nyala membuat nyala dan terang dari apapun yang dilemparkan ke dalamnya."

Epictetus bahkan membayangkan skenario terburuk, "Aku harus mati. Tapi haruskah aku mati sambil menjerit? Aku harus dipenjara tapi haruskah aku mengeluh juga? Aku harus diasingkan tapi apakah ada yang melarangku pergi dengan senyum, tenang dan tabah?"

Inilah inti dari Amor Fati atau cinta pada takdirmu. Ini berarti menerima semua peristiwa, bahkan yang buruk, sebagai bagian tak terpisahkan dari diri Anda dan perjalanan hidup Anda.

Cleanthes mengatakan, "Takdir membimbing mereka yang menerimanya, dan menyeret mereka yang menolaknya." Dengan Amor Fati, kita menerima badai dan belajar untuk tumbuh di dalamnya. Kita menerima bahwa nasib kita—baik maupun buruk adalah bagian dari proses.

Marcus Aurelius menggambarkan, “Mengapa kau mengeluh soal duri di jalan? Itu seperti mengeluh soal serbuk kayu di bengkel tukang kayu. Itu bagian dari proses."

Dengan mencintai takdir, kemungkinan kita merasakan penyesalan akan semakin kecil. Kita akan menghadapi hidup dengan keteguhan, keyakinan, dan keberanian.

  1. Mempersiapkan Diri untuk yang Terburuk

Seneca menyarankan, "Kita harus membayangkan semua kemungkinan yang terjadi, bukan hanya yang biasanya." Ini adalah praktik Premeditatio Malorum prakiraan akan hal buruk. Sebelum melakukan sesuatu yang penting, bayangkan skenario terburuk yang mungkin terjadi.

Ryan Holiday mengaplikasikan ini sebelum berpidato membayangkan mic rusak, presentasi gagal, audiens tidak tertarik.

Dengan membayangkan yang terburuk, kita akan lebih siap dan lebih tahan terhadap kegagalan. Seperti yang dilakukan Booker T. Washington, ia selalu siap dengan kemungkinan terburuk setiap pagi,”Aku berharap hari yang sukses, tapi aku juga siap mendengar sekolahku terbakar, atau difitnah, atau dikritik di publik atas hal yang tidak kulakukan."Dengan begitu, dia lebih tangguh menghadapi kenyataan dan tidak mudah terkejut atau menyesal.

Epictetus bahkan mengajarkan untuk melakukan ini dalam kegiatan sepele seperti mandi, "Bayangkan orang menyiram air, mendorongmu, mencuri barangmu… Maka kalau itu terjadi, kamu sudah siap. Tujuanmu bukan hanya mandi, tapi menjaga kehendakmu selaras dengan alam."

Dengan melatih Premeditatio Malorum, kita tidak akan terlalu terpukul jika hal buruk benar-benar terjadi. Dan kita bisa mengatakan dengan yakin: "Aku sudah melakukan yang terbaik. Dan aku tidak menyesal."

Cintai hidupmu. Cintai siapa dirimu hari ini. Cintai takdirmu—Amor Fati. Lepaskan penyesalan, fokus pada yang bisa dikendalikan, dan bersiaplah untuk segala kemungkinan.


Berita Terkait


News Update