Kisah Pedagang Pasar Kebon Kembang yang Terbakar Harapan

Selasa 24 Jun 2025, 07:51 WIB
Kawasan Basement Blok B2 Pasar Kebon Kembang, Kota Bogor tampak berantakan dan gelap total setelah dilanda kebakaran, Senin, 23 Juni 2025. (Sumber: Poskota/Sekar Putri Andini)

Kawasan Basement Blok B2 Pasar Kebon Kembang, Kota Bogor tampak berantakan dan gelap total setelah dilanda kebakaran, Senin, 23 Juni 2025. (Sumber: Poskota/Sekar Putri Andini)

BOGOR, POSKOTA.CO.ID - Malam belum sepenuhnya larut saat Pasar Kebon Kembang, yang biasanya menjadi nadi ekonomi rakyat kecil Kota Bogor, berubah menjadi lautan bara.

Di balik tembok-tembok usang Blok B2, api menjelma menjadi penjagal sunyi, membakar tak hanya kios dan los, tapi juga mimpi-mimpi sederhana yang telah dikumpulkan dengan susah payah oleh para pedagang.

Kebakaran itu datang tanpa permisi, menjelang pukul 11 malam, Minggu, 22 Juni 2025. Tiga kios besar dan sekitar 17 los di basement pasar lenyap ditelan lidah api.

“Awalnya dari lantai dua warung soft drink, sempat padam, tapi kembali menyala dari basement dan menyebar cepat,” ujar Agung Prihanto, Kepala Disdamkarmat Kota Bogor, mengenang detik-detik genting itu kepada Poskota, Senin, 23 Juni 2025.

Baca Juga: Nurmaya dan Rumah Cinta di Samping Rel

Laporan warga disambut dengan cepat. Dua regu pemadam dari Sukasari, Cibuluh, dan Yasmin dikerahkan. Tujuh unit mobil pemadam—dibantu dua dari Kabupaten Bogor—datang membelah malam.

Sepuluh ambulans dan tangki air BPBD juga bersiaga. Dalam waktu 40 menit, api dijinakkan. Tapi bagi para pedagang, luka itu akan tetap membara lebih lama.

Agung mengatakan, kebakaran yang melanda pasar ini diduga akibat adanya korsleting listrik.

Hanya Sisa Arang dan Debu Dagangan

Esok paginya, sinar matahari yang biasanya membawa harapan justru menyingkap kepedihan. Bau hangus menyengat, debu hitam menempel di dinding-dinding kusam pasar, dan suara gemerisik plastik menyertai langkah pedagang yang mengais sisa-sisa.

Baca Juga: Satu-satunya Harapan Suryadi hanya Dedi Mulyadi

Andi, seorang pedagang pakaian muslim, berdiri terdiam di depan kiosnya yang kini hanya tinggal rangka besi dan arang. Di sampingnya, Satrya, penjual aksesoris, mencoba menyelamatkan gantungan barang dagangan yang nyaris meleleh.

"Belum tahu pasti kerugiannya, tapi yang jelas besar. Kami hanya disuruh ambil apa yang masih bisa diselamatkan," kata Andi, lirih, matanya kosong menatap puing.

Tak ada sirine. Tak ada tangis yang terdengar. Hanya hening dan debu. Listrik padam total. Aktivitas jual beli di basement Blok B2 terhenti.

Bahkan Blok A yang selamat pun ikut lumpuh—menjadi saksi bisu dari luka kolektif sebuah komunitas kecil yang menggantungkan hidupnya dari lapak-lapak sederhana.

Baca Juga: Setiap Malam Cambang dan Anaknya Tidur Bareng Ayam

Satrya berharap ada tangan pemerintah yang turun, bukan sekadar menyeka duka, tapi menghadirkan solusi nyata.

"Kalau bisa sih dikasih bantuan atau tempat sementara. Kami enggak bisa jualan kalau begini terus. Yang dibakar bukan cuma kios, tapi juga nafkah harian," kata dia.

Membakar Lebih dari Barang

Kerugian diperkirakan mencapai Rp400 juta. Namun bagi pedagang, angka itu tak sepenuhnya mencerminkan kehilangan.

Di balik setiap kain yang terbakar, ada tabungan pendidikan. Di antara rak-rak hangus, terselip impian naik haji, atau sekadar mencicil kontrakan bulanan.

Baca Juga: Masjid Jami Kalipasir Kota Tangerang: Cagar Budaya yang Butuh Perhatian Pemda

Meski tak ada korban jiwa, namun luka sosial dan ekonomi yang ditinggalkan cukup dalam. Para pedagang bukan sekadar korban musibah, mereka adalah para pejuang harian yang kini dipaksa mulai lagi dari nol—tanpa jaminan kapan dan di mana bisa kembali berdagang. (CR-5)


Berita Terkait


News Update