"Belum tahu pasti kerugiannya, tapi yang jelas besar. Kami hanya disuruh ambil apa yang masih bisa diselamatkan," kata Andi, lirih, matanya kosong menatap puing.
Tak ada sirine. Tak ada tangis yang terdengar. Hanya hening dan debu. Listrik padam total. Aktivitas jual beli di basement Blok B2 terhenti.
Bahkan Blok A yang selamat pun ikut lumpuh—menjadi saksi bisu dari luka kolektif sebuah komunitas kecil yang menggantungkan hidupnya dari lapak-lapak sederhana.
Baca Juga: Setiap Malam Cambang dan Anaknya Tidur Bareng Ayam
Satrya berharap ada tangan pemerintah yang turun, bukan sekadar menyeka duka, tapi menghadirkan solusi nyata.
"Kalau bisa sih dikasih bantuan atau tempat sementara. Kami enggak bisa jualan kalau begini terus. Yang dibakar bukan cuma kios, tapi juga nafkah harian," kata dia.
Membakar Lebih dari Barang
Kerugian diperkirakan mencapai Rp400 juta. Namun bagi pedagang, angka itu tak sepenuhnya mencerminkan kehilangan.
Di balik setiap kain yang terbakar, ada tabungan pendidikan. Di antara rak-rak hangus, terselip impian naik haji, atau sekadar mencicil kontrakan bulanan.
Baca Juga: Masjid Jami Kalipasir Kota Tangerang: Cagar Budaya yang Butuh Perhatian Pemda
Meski tak ada korban jiwa, namun luka sosial dan ekonomi yang ditinggalkan cukup dalam. Para pedagang bukan sekadar korban musibah, mereka adalah para pejuang harian yang kini dipaksa mulai lagi dari nol—tanpa jaminan kapan dan di mana bisa kembali berdagang. (CR-5)