Baca Juga: Tawuran Pecah di Saharjo Jaksel, Dua Kelompok Remaja Bersajam Saling Serang
Kata dia, Pemerintah bertanggung jawab secara struktural dan sistemik, karena harus menjamin hak anak terlindungi. Dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang TPPO.
"Pemerintah harus menyediakan lapangan kerja yang layak, pendidikan, dan literasi hukum. Harus memastikan adanya sistem deteksi, pelaporan, dan penindakan TPPO yang tegas," kata Hasna.
Kemudian, Hasna mengatakan, keluarga atau orang tua bertanggung jawab secara sosial dan moral. Artinya pihak keluarga jangan sampai lalai atau tergiur tawaran yang “terlalu indah untuk jadi kenyataan”.
Keluarga harus sering melakukan verifikasi dan pengawasan terhadap aktivitas anak. Lalu jangan sampai terlibat secara pasif dalam perdagangan anak, misalnya “mengizinkan” anak pergi kerja tanpa bekal informasi dan pengawasan.
"Namun menyalahkan keluarga sepenuhnya tanpa melihat struktur ketimpangan yang memaksa adalah keliru. Dalam kriminologi kritis, sistem yang melahirkan kerentanan itu sendiri yang harus dikoreksi," ucap Hasna.
Selanjutnya, Hasna mengatakan, untuk meminimalisir kasus TPPO anak ada tiga solusi. Di antaranya, pencegahan primer yaitu dengan edukasi ke anak-anak dan keluarga soal bahaya TPPO dan modus-modusnya.
Kampanye digital dan sekolah yang menjelaskan bahwa tawaran kerja cepat bisa berbahaya. Kemudian pelibatan tokoh masyarakat dan lembaga keagamaan dalam pengawasan anak.
Adapun pencegahan sekunder, kata Hasna, Pemerintah dan LSM harus punya deteksi dini di wilayah miskin dan migran. Serta melakukan pemetaan daerah rawan dan jalur rekrutmen TPPO. Penguatan peran guru, RT/RW, dan puskesos untuk mengenali perubahan perilaku anak. Misal, anak tiba-tiba pergi keluar kota tanpa kejelasan.
"Pencegahan tersier yaitu pendampingan korban yang sudah berhasil diselamatkan, agar tidak menjadi korban ulang. Juga melakukan pemberdayaan ekonomi keluarga korban dan komunitas rentan," ucap Hasna.