POSKOTA.CO.ID - Dalam perjalanan hidup, tidak semua hal berjalan sesuai rencana. Ada kalanya, sesuatu yang kita dambakan justru menjauh, dan apa yang kita hindari malah menjadi kenyataan.
Namun, seiring waktu, banyak dari kita yang menyadari bahwa justru pengalaman-pengalaman inilah yang membentuk karakter, memperkaya batin, dan membukakan pintu-pintu tak terduga menuju masa depan yang lebih baik.
Kegagalan, kehilangan, dan penolakan seringkali terasa menyakitkan. Namun, dalam narasi hidup manusia, semua itu bukan akhir dari segalanya, melainkan bagian dari alur yang akan membawa kita ke puncak pemahaman bahwa kehidupan bukan hanya tentang hasil, tetapi tentang proses yang menguatkan.
Saat Impian SMA Favorit Tak Menjadi Nyata
Melansir dari Quora @Ilmu Baru Hari Ini, ketika baru lulus SMP, seperti banyak pelajar lainnya, saya memiliki impian untuk masuk ke salah satu SMA negeri favorit. Enam bulan sebelum ujian nasional, saya menyisihkan waktu khusus untuk mempersiapkan diri. Ketika teman-teman menikmati masa remaja dengan santai, saya justru memacu diri dengan bimbingan belajar dan latihan soal demi mengejar impian itu.
Namun, kenyataan berkata lain. Saya gagal. Nama saya tidak tercantum dalam daftar siswa yang diterima. Saya hanya diterima di sebuah SMA swasta yang tidak terkenal. Saya merasa hancur. Ada perasaan marah, kecewa, dan frustrasi mengapa usaha sebesar itu tidak membuahkan hasil?
Tetapi waktu berjalan, dan tiga tahun di SMA yang saya anggap "mediocre" itu justru membuka jalan yang sama sekali tak saya duga. Saya bertemu dengan teman-teman yang inspiratif, guru-guru yang membimbing dengan ketulusan, dan pengalaman hidup yang begitu kaya akan warna. Semua itu kemudian menjadi bahan baku untuk sebuah novel pertama yang saya tulis karya yang mengubah seluruh arah hidup saya.
Ketika Jurusan Impian Ditolak oleh Orangtua
Usai SMA, saya ingin melanjutkan studi di bidang sastra, mengikuti panggilan hati yang sejak lama saya rasakan. Namun orangtua saya menolak dengan keras. Bagi mereka, sastra tidak menjanjikan masa depan yang jelas. Dalam kemarahan dan kekecewaan, saya menyerah dan menerima jalur undangan ke Fakultas Pertanian.
Sekilas, tampak seperti kekalahan. Tapi ternyata, keputusan itu membuka gerbang lain. Saya melanjutkan studi hingga tingkat magister di IPB, menjadi Asisten Wakil Dekan, ikut berbagai proyek penelitian dosen, menerima honorarium, bahkan berkesempatan mengunjungi berbagai negara.
Dunia yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya hadir karena saya tidak melawan arus, melainkan belajar menyesuaikan diri dan mengambil peluang dalam keterbatasan.
Ketika Kesedihan Menjadi Guru Emosi
Tak terhitung momen-momen menyedihkan yang saya lalui selama hidup—penolakan, kehilangan, kegagalan, kesepian. Namun ketika saya mengamati lebih dalam, justru emosi-emosi itu yang membentuk empati saya. Kesedihan membuat saya memahami rasa sakit orang lain.