POSKOTA.CO.ID - Pinjol ilegal sering kali memperoleh data pribadi, termasuk nomor telepon, melalui cara-cara yang melanggar hukum.
Salah satu metode yang umum digunakan adalah pembelian data dari pihak ketiga atau "mafia data" yang menjual informasi pribadi dengan harga murah, mulai dari Rp300 hingga Rp50.000 per data, tergantung pada kelengkapan informasi seperti nama, alamat, atau kemampuan finansial nasabah.
Selain itu, banyak pengguna tanpa sadar membagikan nomor telepon mereka di media sosial, seperti pada kolom bio atau unggahan berisi informasi pribadi, yang kemudian dikumpulkan oleh pelaku pinjol ilegal.
Cara lain yang sering digunakan adalah melalui aplikasi pinjol itu sendiri. Ketika pengguna mengunduh aplikasi ilegal dan memberikan izin akses ke kontak, galeri, atau riwayat panggilan, data tersebut dapat diambil tanpa sepengetahuan pengguna.
Baca Juga: Penting! Ini Daftar Data yang Harus Kamu Jaga Saat Gagal Bayar Pinjol
Bahkan, data seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sering diminta saat pendaftaran, yang kemudian dapat digunakan untuk mendaftarkan kartu SIM baru untuk keperluan penagihan atau ancaman.
Praktik ini tidak hanya melanggar privasi, tetapi juga bertentangan dengan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang melarang fintech legal mengakses data pribadi tanpa persetujuan.

Praktik Penjualan Nomor Nasabah dan Dampaknya
Penjualan nomor nasabah oleh pinjol ilegal merupakan bagian dari industri gelap yang merugikan masyarakat.
Data yang dijual biasanya mencakup nomor telepon, alamat, hingga informasi sensitif seperti NIK dan KTP.
Data ini sering digunakan untuk mengirimkan penawaran pinjaman melalui SMS atau WhatsApp tanpa persetujuan, menargetkan masyarakat yang sedang kesulitan finansial.
Dalam kasus yang lebih parah, data tersebut dimanfaatkan untuk tindakan kriminal, seperti pemerasan atau penagihan dengan ancaman, termasuk menyebarkan informasi pribadi nasabah ke kontak di ponsel mereka.