Dalam konteks hukum Indonesia, konten dalam grup-grup tersebut melanggar beberapa undang-undang penting, di antaranya:
- UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
- UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
- UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Para pelaku dapat dijerat hukuman penjara hingga puluhan tahun, tergantung pada jenis pelanggaran, seperti distribusi konten asusila, eksploitasi seksual anak, hingga pelanggaran terhadap hak privasi anak.
Baca Juga: BPJS Kesehatan Cabang Jakpus dan Media Bersinergi Tingkatkan Pemahaman JKN
Upaya Pencegahan
Untuk menekan penyebaran konten menyimpang, perlu adanya edukasi digital berkelanjutan kepada masyarakat mengenai pentingnya:
- Mengenali tanda-tanda konten berbahaya di media sosial
- Melaporkan grup atau akun yang mencurigakan melalui fitur pelaporan resmi
- Melindungi anak-anak dari paparan konten seksual di internet
- Menjaga privasi dan penggunaan foto anak di ruang publik daring
Selain itu, orang tua juga perlu lebih waspada dalam memantau aktivitas anak dan pasangan di dunia maya, guna mencegah keterlibatan dalam aktivitas digital yang menyimpang.
Kasus grup “Fantasi Sedarah” dan sejenisnya merupakan pengingat bahwa dunia digital bukanlah ruang tanpa batas dan hukum. Untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat dan aman, dibutuhkan kolaborasi antara masyarakat, penyedia platform, aparat hukum, dan pemerintah.
Masyarakat harus lebih kritis dan responsif dalam melaporkan konten berbahaya. Pemerintah dan aparat hukum wajib menunjukkan keberpihakan terhadap korban dengan tindakan yang nyata, bukan hanya pernyataan simbolis.
Di sisi lain, platform seperti Facebook juga harus bertanggung jawab terhadap konten yang beredar di layanannya, mengembangkan teknologi deteksi yang lebih canggih, dan meningkatkan transparansi dalam menindak pelanggaran konten.