POSKOTA.CO.ID - Pinjaman online atau peer-to-peer (P2P) lending telah menjadi bagian integral dari perkembangan teknologi finansial di Indonesia.
Dengan kemudahan akses dan kecepatan pencairan dana, layanan ini semakin diminati masyarakat dari berbagai kalangan, terutama pelaku UMKM dan individu dengan keterbatasan akses perbankan konvensional.
Namun, seiring kemudahan yang ditawarkan, muncul pula tantangan serius, salah satunya adalah fenomena gagal bayar (default) oleh peminjam.
Fenomena gagal bayar bukan semata-mata karena niat buruk. Faktor seperti minimnya literasi keuangan, manajemen pengeluaran yang lemah, serta kurangnya pemahaman terhadap kontrak dan konsekuensi hukum pinjaman turut andil dalam meningkatnya kasus ini.
Ironisnya, di media sosial bahkan muncul narasi “promosi galbay” yang mendorong masyarakat untuk secara sengaja tidak membayar utang digital. Padahal, tindakan ini memiliki risiko serius, mulai dari pencatatan buruk di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK hingga tuntutan hukum.
Baca Juga: Bansos BPNT Rp600.000 Tahap 2, Cair Minggu ke 3 Bulan Mei 2025, Siapa Saja Penerima Bantuannya?
Gagal Bayar: Antara Ketidaksengajaan dan Niat Buruk
Banyak pihak mengira gagal bayar hanyalah akibat ketidakmampuan ekonomi sesaat. Namun, fenomena ini juga melibatkan aspek moral dan kesengajaan. Indrayatno Bidjuni, seorang pengamat fintech dalam Podcast FintechVerse 360kredi, menyatakan pentingnya meluruskan narasi keliru yang berkembang di media sosial.
“Kalau memang berniat gagal bayar, sampai diniatkan seperti itu, ini ada risiko hukumnya,” tegasnya.
Menurutnya, konten-konten yang mendorong masyarakat untuk “galbay” atau menghindari kewajiban pembayaran secara sengaja sangat berbahaya.
Bukan hanya merusak ekosistem keuangan digital, tindakan ini dapat memicu jerat hukum seperti pelanggaran kontrak, penipuan, bahkan pencemaran nama baik dalam laporan keuangan nasional.
Risiko Terhadap Skor Kredit SLIK OJK
Salah satu konsekuensi paling nyata dari gagal bayar pinjaman online adalah tercorengnya skor kredit di SLIK OJK. Skor ini digunakan oleh berbagai lembaga keuangan untuk menilai kelayakan calon debitur dalam memperoleh pembiayaan.
Wahyu Trenggono, Direktur Komersial IdScore, menegaskan pentingnya menjaga rekam jejak keuangan. Dalam acara AFPI Journalist Workshop di Bandung, ia menyatakan:
“Credit scoring harus kita jaga, karena dampaknya sangat luas. Nanti tak bisa dapat kerja, susah cari kerja, bahkan cari jodoh juga susah kalau nilai jelek.”
Skor kredit buruk bukan hanya menghalangi akses terhadap pinjaman di masa depan, tetapi juga dapat mempengaruhi peluang pekerjaan, terutama di sektor keuangan, teknologi, dan pemerintahan yang mensyaratkan riwayat kredit yang baik.
Implikasi Hukum Bagi Peminjam yang Tidak Bertanggung Jawab
Banyak masyarakat belum memahami bahwa pinjaman digital juga dilindungi dan diatur oleh hukum formal. Pinjaman melalui aplikasi legal yang terdaftar di OJK berada di bawah pengawasan ketat.
Ketika seseorang gagal membayar kewajibannya, ia bukan hanya menghadapi permasalahan finansial, melainkan juga potensi tuntutan hukum.
Dalam konteks hukum perdata, pihak pemberi pinjaman dapat mengajukan gugatan wanprestasi. Dalam kasus tertentu, terutama jika ditemukan niat menipu atau rekayasa data saat pengajuan pinjaman, hukum pidana juga bisa menjerat debitur.
Oleh karena itu, penting bagi peminjam untuk tidak menganggap enteng proses pengajuan pinjaman. Kewajiban membayar cicilan bukan hanya persoalan moral, tetapi juga berdampak pada reputasi hukum pribadi.
Langkah Preventif: Jaga Reputasi Keuangan Sejak Dini
Agar terhindar dari risiko gagal bayar dan pencemaran skor kredit, berikut beberapa langkah preventif yang dapat dilakukan masyarakat:
- Pahami Syarat dan Ketentuan Pinjaman
Bacalah secara teliti setiap perjanjian pinjaman sebelum menyetujui, termasuk bunga, denda keterlambatan, dan jadwal pembayaran. - Ajukan Pinjaman Sesuai Kemampuan Finansial
Hindari meminjam melebihi kapasitas penghasilan bulanan. Pastikan cicilan tidak melebihi 30% dari total pendapatan. - Catat dan Kelola Jadwal Pembayaran
Gunakan aplikasi pengingat atau sistem otomatis untuk memastikan tidak ada cicilan yang terlambat dibayar. - Gunakan Pinjaman untuk Tujuan Produktif
Sebisa mungkin, arahkan dana pinjaman ke sektor produktif seperti usaha, pendidikan, atau kebutuhan darurat, bukan konsumsi gaya hidup. - Pantau Skor Kredit Secara Berkala
Masyarakat dapat mengecek skor kredit mereka melalui layanan resmi seperti IdScore atau langsung melalui portal SLIK OJK.
Baca Juga: 5 Alasan Utama Pengajuan Pinjol Ditolak, Simak Agar Pengajuan Pinjaman Online Cepat Disetujui
Fenomena Sosial: Narasi Galbay di Media Sosial
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi ekosistem fintech saat ini adalah munculnya narasi “galbay” di media sosial. Sebagian konten kreator memproduksi video, unggahan, atau komentar yang menyatakan bahwa tidak membayar pinjaman adalah hak konsumen atau bagian dari perlawanan terhadap sistem kapitalistik.
Narasi semacam ini sangat berbahaya karena:
- Mendorong tindakan tidak bertanggung jawab secara masif.
- Menyesatkan masyarakat awam yang tidak memahami konsekuensi hukum dan keuangan.
- Merusak ekosistem teknologi finansial yang sedang dibangun secara legal dan bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, OJK bersama Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah gencar melakukan edukasi publik agar masyarakat memahami bahwa pinjaman online bukan sekadar “uang gratis” melainkan komitmen hukum.
Perkembangan teknologi finansial membuka akses luas terhadap pembiayaan. Namun, akses ini disertai tanggung jawab besar.
Gagal bayar pinjaman online bukan hanya merugikan pihak penyedia layanan, tetapi juga berpotensi merusak reputasi kredit individu serta memicu konsekuensi hukum.
Pemerintah, regulator, dan pelaku industri harus terus memperkuat literasi keuangan masyarakat. Sementara itu, pengguna layanan fintech harus membangun etika digital dalam mengelola keuangan pribadi. Dengan begitu, ekosistem keuangan digital Indonesia dapat tumbuh secara sehat, inklusif, dan berkelanjutan.