POSKOTA.CO.ID - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi sempat berdialog langsung dengan Menteri Hukum dan HAM, Natalius Pigai sedang mendapat banyak sorotan.
Hal ini terjadi saat kunjungan resmi ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang berlokasi di kawasan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta.
Kunjungan yang berlangsung pada Kamis, 8 Mei 2025, tidak hanya menjadi forum diskusi kebijakan, tetapi juga menjadi ruang refleksi atas simbolisme busana dan budaya yang diusung oleh pejabat publik.
Dalam suasana santai namun sarat nilai, pembicaraan antara kedua tokoh nasional ini menyiratkan pesan penting tentang kesederhanaan, keaslian, dan makna dari identitas budaya.
Pertanyaan Sederhana, Jawaban Penuh Makna
Saat menyambut Gubernur Dedi Mulyadi yang mengenakan pakaian serba putih, Natalius Pigai mengajukan sebuah pertanyaan yang spontan, namun bermakna:
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa Pak Gubernur bajunya putih semua?" tanya Natalius dengan senyum.
Dedi Mulyadi, yang dikenal dengan gaya komunikasinya yang santai dan penuh filosofi, hanya tersenyum sembari memegang baju putihnya.
"Putih-putih. Ya, kalau kotor kan kelihatan, Pak," jawabnya, disambut tawa hangat dari hadirin.
Momen ini menjadi titik awal perbincangan yang lebih dalam. Natalius Pigai pun menanggapi dengan refleksi yang mendalam.
"Saya kira, Pak Gubernur itu hatinya putih. Dan ia ingin menunjukkan bahwa dari dalam dirinya putih, maka ia pun mengenakan pakaian putih di luar," ujar Menteri HAM tersebut.
Makna Busana Putih dan Kejujuran Simbolik
Dalam konteks kebudayaan Indonesia, warna putih sering dikaitkan dengan kesucian, kejujuran, dan ketulusan hati.
Di dunia politik dan pemerintahan, pakaian serba putih yang dikenakan oleh Dedi Mulyadi dapat dimaknai sebagai pesan akan transparansi, keikhlasan melayani rakyat.
Baca Juga: Terungkap! Alasan Ayah 7 Anak Nekat Ajukan Vasektomi ke Dedi Mulyadi: Demi Masa Depan Keluarga
Selain itu Dedi juga mengartikan warna putih sebagai ajakan moral kepada publik untuk menjalani kehidupan yang bersih dan sederhana.
Pakaian bukan sekadar penutup tubuh, melainkan ekspresi nilai dan jati diri. Dalam hal ini, Gubernur Dedi Mulyadi menyampaikan pesan penting: ketika seorang pemimpin tampil dengan busana yang mencerminkan kebersihan dan kesederhanaan, maka publik akan lebih mudah melihat dan menilai komitmen moralnya.
Iket Sunda sebagai Simbol Identitas Budaya
Selain membahas busana putih, Natalius Pigai juga tertarik dengan penutup kepala khas Sunda yang dikenakan oleh Gubernur Dedi Mulyadi.
"Kalau ini, simbol budaya ya?" tanya Natalius Pigai.
Baca Juga: Dedi Mulyadi Klaim Program Didik Siswa Bermasalah di Barak Militer Tak Langgar HAM
Dedi Mulyadi kemudian menjelaskan bahwa iket yang dikenakannya merupakan bagian dari identitas budaya Sunda.
"Iket ini merupakan simbol budaya masyarakat Sunda. Di Jawa disebut blangkon," terang Dedi Mulyadi.
"Namun, iket Sunda biasanya lebih tinggi. Semakin ke barat, seperti Sumatera, iket itu makin tinggi. Sebaliknya, semakin ke timur, semakin pendek," imbuhnya.
Penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan bentuk iket atau tutup kepala bukan hanya soal estetika, tetapi juga cerminan posisi geografis dan struktur sosial budaya masyarakat Nusantara.
Arsitektur sebagai Cerminan Budaya
Tidak hanya soal pakaian dan penutup kepala, Dedi Mulyadi juga menyinggung soal bentuk atap rumah tradisional sebagai metafora lain dari keberagaman budaya di Indonesia.
"Saya pelajari, makin ke timur, atap bangunan makin pendek. Makin ke barat, makin tinggi. Ini juga bisa jadi representasi karakteristik masyarakat masing-masing," ujarnya.
Penjelasan ini memperlihatkan betapa Dedi Mulyadi memiliki perhatian besar terhadap unsur-unsur budaya lokal sebagai fondasi kepemimpinannya.
Baginya, mengenal dan menghargai kearifan lokal merupakan bagian penting dari pembangunan yang berkelanjutan dan berakar pada nilai-nilai masyarakat.
Saling Menghargai Perbedaan
Dalam perbincangan tersebut, Dedi Mulyadi juga mengungkapkan rasa hormatnya kepada Natalius Pigai yang selama ini dikenal sebagai tokoh nasional yang berpikiran kritis dan independen.
"Saya memperhatikan Bapak sejak di Komnas HAM. Cara pandang Bapak berbeda, dan yang berbeda itu selalu menjadi perhatian. Perbedaan itu justru menjadi kekuatan," ungkap Dedi.
Dalam responsnya, Natalius Pigai menyambut baik pernyataan tersebut.
Ia menjelaskan bahwa Kemenkumham merupakan lembaga yang terbuka terhadap segala diskusi, dan jabatan bukanlah penghalang untuk berdialog secara setara.
"Di ruangan ini, jabatan menteri sudah tidak berlaku. Kita semua bisa berdiskusi secara bebas," ucap Pigai.
Kunjungan dengan Tujuan Sosial
Selain membahas simbolisme budaya, kunjungan Dedi Mulyadi ke Kementerian Hukum dan HAM juga memiliki agenda serius.
Ia menyampaikan keprihatinan atas berbagai persoalan sosial yang dialami remaja di Jawa Barat, termasuk persoalan kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan akses pendidikan yang belum merata.
"Kami ingin berkolaborasi dengan Kemenkumham dalam mencari solusi konkret atas permasalahan ini, karena pemuda adalah masa depan bangsa," kata Dedi Mulyadi.
Natalius Pigai merespons positif ajakan kerja sama tersebut dan menyatakan kesiapan kementeriannya untuk turun langsung menjawab kegelisahan masyarakat Jawa Barat.