POSKOTA.CO.ID - Dalam sistem demokrasi modern, pemakzulan (impeachment) hadir sebagai mekanisme krusial untuk memastikan akuntabilitas pemimpin tertinggi negara (presiden).
Proses konstitusional ini memungkinkan pemberhentian presiden atau wakil presiden sebelum masa jabatan berakhir jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, seperti pengkhianatan negara, korupsi, atau tindak pidana serius lainnya.
Di Indonesia, ketentuan tentang pemakzulan secara resmi diatur dalam UUD 1945 setelah amendemen ketiga pada tahun 2001.
Pengaturan ini menjadi bagian penting dari prinsip checks and balances, yang bertujuan mencegah penyalahgunaan kekuasaan eksekutif sekaligus menjaga stabilitas sistem ketatanegaraan.
Dengan mekanisme yang melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR, proses pemakzulan dirancang ketat agar tidak mudah dijadikan alat politik jangka pendek.
Apa Itu Pemakzulan?
Pemakzulan berasal dari kata Arab "makzul" yang berarti "diturunkan dari jabatan". Secara konstitusional, pemakzulan adalah proses hukum dan politik untuk meminta pertanggungjawaban presiden atas dugaan pelanggaran serius, seperti pengkhianatan negara, korupsi, atau tindak pidana berat lainnya.
Berbeda dengan pemberhentian biasa, pemakzulan bukan sekadar keputusan politik, melainkan harus melalui pembuktian di Mahkamah Konstitusi (MK) dan persetujuan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sejarah Pemakzulan: Dari Inggris Hingga Indonesia
Konsep pemakzulan pertama kali muncul di Inggris pada abad ke-14 sebagai alat parlemen untuk membatasi kekuasaan raja. Di Amerika Serikat, mekanisme ini diadopsi dalam Konstitusi 1787 dan telah digunakan beberapa kali, seperti dalam kasus Presiden Andrew Johnson (1868) dan Bill Clinton (1998).
Di Indonesia, sebelum amandemen UUD 1945, tidak ada mekanisme jelas untuk memberhentikan presiden. Baru pada 2001, melalui amendemen ketiga UUD 1945, pemakzulan diatur secara rinci untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan eksekutif.