Nasib Pekerja Media di May Day 2025: AJI Indonesia Soroti Permasalahan Upah Rendah dan PHK

Kamis 01 Mei 2025, 10:56 WIB
Ilustrasi. Eksploitasi pekerja media terus berlanjut. AJI serukan reformasi total perlindungan jurnalis di Mayday 2025. (Sumber: Tangkap layar YouTube/video satu menit)

Ilustrasi. Eksploitasi pekerja media terus berlanjut. AJI serukan reformasi total perlindungan jurnalis di Mayday 2025. (Sumber: Tangkap layar YouTube/video satu menit)

POSKOTA.CO.ID - 1 Mei 2025, Hari Buruh Internasional (Mayday) tahun ini kembali menjadi momentum untuk mengevaluasi kondisi pekerja media di Indonesia.

Di tengah tantangan ekonomi yang kian berat dan disrupsi teknologi, nasib jurnalis justru semakin terpinggirkan. Upah tidak layak, status kerja ambigu, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak masih menjadi masalah akut yang belum terselesaikan.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengonfirmasi betapa buruknya keadaan ini. Buruh atau pekerja media masih dihadapkan dengan berbagai masalah yang mendera. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak masih menjadi mimpi buruk, di tengah situasi rumit ekonomi yang melilit.

Sistem pengupahan tidak menguntungkan, jaminan sosial diabaikan, bahkan hubungan kerja yang sama sekali tidak menguntungkan bagi para pekerja media hingga hari ini, kondisi ini menunjukkan bahwa setelah bertahun-tahun, perbaikan kesejahteraan jurnalis masih sekadar harapan belaka.

Baca Juga: Masalah PHK dan Upah Minim Masih Membayangi Pekerja Media di Indonesia

Upah di Bawah Standar dan Status Kerja Tak Jelas

Survei AJI Indonesia "Wajah Jurnalis Indonesia 2025" mengungkapkan bahwa masalah klasik seperti upah rendah dan status pekerja yang tidak jelas masih mendominasi kondisi jurnalis. Dari 2.002 responden di seluruh Indonesia, sebagian besar masih menerima upah di bawah standar kebutuhan hidup layak.

"Situasi pekerja media pada momen Mayday tahun ini, sesungguhnya tidak berbanding jauh atas apa yang dihadapi pekerja media di tahun-tahun sebelumnya," tegas Nany Afrida, Ketua Umum AJI Indonesia, Kamis 1 Mei 2025.

Gelombang PHK dan Eksploitasi Kontrak Kerja

Disrupsi digital turut memperparah kondisi pekerja media. Banyak perusahaan kehilangan pemasukan iklan yang beralih ke platform digital, sementara teknologi semakin menggantikan peran jurnalis dalam produksi berita.

Situasi ini dimanfaatkan sejumlah perusahaan untuk menekan pekerja melalui kontrak kerja yang merugikan.

"Kondisi itu juga dimanfaatkan media untuk menekan pekerja media (jurnalis) lewat kontrak yang merugikan, yakni menerapkan sistem kerja waktu tertentu selama bertahun-tahun," papar Nany.

Lebih ironis lagi, beberapa media menerapkan sistem kemitraan, di mana jurnalis dianggap sebagai mitra, bukan pekerja, sehingga mereka harus mencari pendapatan sendiri tanpa jaminan sosial.

Baca Juga: Aksi May Day 2025 Digelar Hari Ini Pukul 09.30 WIB, Ini 9 Ruas Jalan yang Patut Dihindari

Dampak UU Cipta Kerja dan Minimnya Kesadaran Berserikat

Masalah lain adalah masih banyaknya perusahaan yang memanfaatkan klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023, meskipun telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Praktik kontrak jangka panjang tanpa kepastian kerja semakin memperburuk posisi tawar jurnalis. Selain itu, rendahnya kesadaran berserikat di kalangan jurnalis turut memperlemah perlindungan hak-hak mereka.

Banyak perusahaan menghegemoni dengan narasi bahwa "jurnalis bukan buruh", padahal dalam praktiknya, mereka bekerja di bawah perintah dan menerima upah.

Baca Juga: 1 Mei 2025 Aksi May Day di Monas: Ini 6 Tuntutan Penting Buruh kepada Prabowo

Tuntutan AJI Indonesia di Hari Buruh 2025

Menyambut Mayday, AJI Indonesia mendesak berbagai pihak untuk mengambil langkah konkret:

  1. Pemerintah harus menjaga ekosistem bisnis media yang sehat, independen, dan tidak partisan, termasuk dengan memasang iklan tanpa intervensi redaksional.
  2. Ajak buruh media membentuk serikat pekerja, baik di tingkat perusahaan maupun lintas perusahaan, untuk memperkuat posisi tawar.
  3. Dewan Pers dan pemerintah harus membuat sistem pengawasan guna menghentikan eksploitasi dan memastikan hak normatif buruh media terpenuhi.
  4. DPR harus segera merevisi UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang pro-buruh, sesuai amanat MK.
  5. Perusahaan media wajib memberikan kompensasi layak bagi jurnalis yang di-PHK, minimal sesuai ketentuan undang-undang.

"Jurnalis adalah buruh. Mereka berhak atas perlindungan dan kesejahteraan yang adil," tegas Nany. Di tengah tantangan ekonomi dan digitalisasi, perjuangan buruh media masih panjang, tetapi tidak boleh berhenti.

Berita Terkait

News Update