Ini juga yang menjadi salah satu pertimbangan sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) dan mendiskualifikasi paslon di beberapa daerah pilkada.
Dalam kasus seperti ini dapat dimaknai adanya keberpihakan oknum pejabat atau penguasa di daerah mendukung paslon tertentu, menjadikan netralitas ASN tidak terjaga dengan baik.
Cukup beralasan netralitas ASN acap dikritisi dan diwanti-wanti, jika terdapat calon petahana atau pejabat teras daerah ikut berlaga dalam pilkada.
ASN menjadi rebutan karena berperan mendulang dukungan. ASN, apalagi di daerah tak hanya pegawai negeri, juga tokoh panutan, tokoh masyarakat.
Kalau setiap ASN dapat membawa minimal 5 suara, sudah dapat diprediksi berapa suara yang dapat diraih.
Ini sah-sah saja selama dukungan yang diberikan sesuai dengan suara hati nurani dan pilihan diri sendiri. Menjadi masalah begitu dukungan diberikan kepada seseorang atas dasar pemaksaan, tekanan dan ancaman karir masa depan, dan lain-lain.
Jika hal itu yang terjadi, maka yang didapat netralitas semu dan abu-abu karena tadi, ASN terikat dengan aturan main mengikuti perintah atasannya dalam menjalankan tugas dan kewajiban.
Karir adalah masa depan, dedikasi dan loyalitas institusi dan kepatuhan kepada atasannya, bagian dari upaya meniti karir.
Perlu dicarikan solusi mencegah hadirnya netralitas semu alias netralitas sebatas di atas kertas.
Cukup banyak perangkat hukum yang mengatur netralitas ASN. Sampai hal yang terkecil seperti larangan menghadiri deklarasi salah satu calon pun sudah diatur.
Surat edaran agar ASN netral berikut sanksinya, sudah banyak dikeluarkan sejumlah instansi. Namun, tetap saja soal netralitas ASN masih menjadi evaluasi setiap pemilu.
Jika demikian halnya, sudah saatnya mengaktualkan aturan main soal netralitas.