“Jabatan dan kekuasaan baik di eksekutif maupun legislatif adalah amanah rakyat, maka kembalikanlah kepada rakyat, dipergunakan untuk sebaik-baiknya demi keadilan dan kemakmuran rakyat..”
-Harmoko-
Belakangan ini, jelang gelaran pilkada serentak, mencuat di ruang publik perihal politik sandera, tentu dengan beragam argumennya yang mengindikasikan adanya penyanderaan kepentingan demi meraih tujuan.
Fenomena politik sandera, dalam artian adanya tarik ulur kepentingan ataupun saling mencari keuntungan, sejatinya bukan hal yang baru.
Dua tahun jelang pemilu lalu, yang disebut tahun politik, tarik ulur kepentingan sudah terjadi dan ditengarai akan terus terjadi pada momen tertentu, di antaranya jelang kontestasi politik.
Kini, beragam istilah politik mencuat, di antaranya politik sandera tak lepas dari buah dinamika praktik politik jelang pilkada.
Kita tahu, saat sekarang ini praktik demokrasi,termasuk kiprah partai politik sedang disorot publik. Ini wajar saja karena jelang pilkada peran partai politik sangat menentukan dalam mengantar calon kepala daerah.
Atraksi politik parpol beserta para elite dan petingginya dalam menyikapi situasi akan mudah terekam oleh publik. Termasuk ketika memutuskan mengusung pasangan calon kepala daerah, akan terbaca oleh publik ke mana arah tujuan dan latar belakangnya, meski yang tahu presis adalah parpol itu sendiri.
Publik hanya menduga dan menganalisa sebagai salah satu bekal dalam menentukan sikap pada pilkada kelak. Jika pasangan calon sesuai ekspektasi, akan mendukungnya, kalau tidak, boleh jadi akan mengalihkan dukungan.
Petimbangan utama menentukan pasanangan adalah kemenangan, bahwa di dalamnya terdapat tarik ulur kepentingan, adanya perubahan pola distribusi kepentingan, wajar-wajar saja.
Meski tidak dapat dipungkiri dalam distribusi akan tergantung pada kekuasaan, tak heran kalau kemudian elite parpol yang berkuasa dapat mengatur perubahan pola distribusi kepentingan.
Namun, tak jarang dijumpai elite parpol berkuasa pun tidak bisa berkutik, jika tersandera oleh kepentingan yang lain, lebih urgen menyangkut masa depan karir politiknya. Ini menyangkut distribusi kekuasaan, jika tidak mau disebut kompensasi jabatan dan kekuasaan di kemudian hari.
Dapat dipahami, karena dalam dunia politik dikenal dengan istilah ‘siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana mendapatkannya..’
Berbagai kemungkinan diproyeksikan untuk mencapai tujuan politik. Wajar saja, karena politik dalam konteks praktik adalah seni untuk mencari kemungkinan yang terbaik, the art of possibility, seni untuk mencari berbagai kemungkinan.
Dalam kontestasi pemilu, tenu untuk memenangkan pemilu, begitu juga dalam pilkada dengan tujuan memenangkan kadernya, pasangan yang diusung menjadi kepala daerah.
Kalau strategi yang dibangun masih dalam kerangka siapa dapat apa, kapan dan bagaimana caranya, dalam dunia politik bisa dikatakan bukankah hal yang baru dan tabu.
Tetapi menjadi menciderai demokrasi, jika sudah melakukan politik kotor dan culas. Politik sandera, salah satu di antaranya. Ini pun masih dapat dipahami, jika sandera yang dilakukan demi keuntungan bersama, tidak merugikan salah satu pihak.
Menjadi tidak pantas, melanggar etika demokrasi, jika menyandera kepentingan lawan politik dengan menggunakan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak – pihak yang berseberangan.
Publik sudah dapat memahami lebih rinci, apa yang dimaksudkan dengan instrumen hukum, karena hal semacam ini acap terjadi.
Siapa yang menggunakan instrumen hukum, lazimnya yang memiliki kekuasaan atau memiliki pengaruh terhadap kekuasaan, setidaknya dapat mempengaruhi
kebijakan kekuasaan.
Ini yang kemudian disebut kompromi politik saling menguntungkan, di satu sisi perkaranya aman, paling tidak untuk sementara waktu, di pihak lain untuk memperluas dukungan politik dan kekuasaan, saat sekarang dan masa depan.
Politik sandera tidak selamanya buruk, jika digunakan justru untuk mencegah monopoli dan dominasi kekuasaan, mencegah hal-hal buruk bagi kehidupan rakyat.
Jika menggunakan strategi untuk memuliakan tujuan politik, memajukan bangsa dan negara, mensejahterakan seluruh rakyat.
Tanpa adanya perbedaan perlakuan, tanpa menekan, tanpa intimidasi, tanpa pula memaksakan kehendak karena kekuasaannya.
Bahkan sebaliknya, kekuasaan yang dimiliki dikembalikan untuk kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara, bukan pribadi, keluarga dan kerabatnya.
Jabatan dan kekuasaan baik di bidang eksekutif maupun legislatif adalah amanah rakyat, maka kembalikanlah kepada rakyat, dipergunakan sebaik-baiknya demi keadilan dan kemakmuran rakyat,seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. (Azisoko).