POSKOTA.CO.ID - Aktor senior Diding Boneng tengah menghadapi masa sulit setelah rumah yang telah ia tempati selama puluhan tahun roboh secara mendadak. Bangunan tua yang menyimpan jejak panjang perjalanan hidupnya itu kini rata dengan tanah, menyisakan puing-puing kayu lapuk yang tak lagi mampu menopang usia.
Peristiwa robohnya rumah tersebut terjadi saat Diding Boneng tidak berada di lokasi. Ia baru mengetahui musibah itu sekitar 20 menit setelah kejadian, ketika kembali ke kediamannya di kawasan Matraman Dalam 2, Jakarta Pusat, Selasa, 30 Desember 2025. Pemandangan yang ia temui bukan hanya reruntuhan rumah, tetapi juga tangis histeris anggota keluarganya yang tak menyangka bangunan warisan keluarga itu runtuh begitu cepat.
Diding mengaku terkejut dan terpukul melihat kondisi rumah yang telah menjadi saksi bisu kelahirannya. Rumah itu bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang hidup yang menyimpan kenangan lintas generasi.
Baca Juga: Tragis! Open BO di Malang Berujung Maut, Pria Tikam Wanita Enam Kali karena Tak Sanggup Bayar
“Saya tidak tahu persis detiknya karena saya sedang di luar. Begitu pulang, kejadiannya sudah sekitar 20 menit. Adik-adik saya sudah pada menangis,” ujar Diding Boneng saat ditemui awak media.
Menurutnya, keluarga kemudian segera melaporkan kejadian tersebut kepada Ketua RT setempat. Aparat lingkungan bergerak cepat untuk mengamankan lokasi, memastikan tidak ada korban jiwa, serta mencegah potensi bahaya lanjutan dari sisa bangunan yang masih berdiri.
Penyesalan atas Perawatan Rumah yang Terabaikan
Di balik musibah tersebut, Diding Boneng menyimpan rasa penyesalan mendalam. Aktor yang dikenal luas lewat film-film komedi era Warkop DKI itu secara terbuka mengakui kelalaiannya dalam merawat rumah yang sebenarnya telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan sejak lama.
Ia menyadari bahwa usia bangunan yang sudah sangat tua seharusnya diimbangi dengan perawatan struktural yang serius. Namun, sikap terlalu santai membuat ia menunda pembaruan atau perbaikan besar.
“Rumah ini memang sudah lapuk dan tidak pernah di-upgrade. Mungkin ini titik akhirnya. Saya yang salah, kenapa terlalu santai. Saya akui, saya salah,” tuturnya dengan nada lirih.
Pengakuan itu mencerminkan kesadaran Diding bahwa rumah berusia ratusan tahun tidak cukup hanya dijaga secara kasat mata. Tanpa penguatan struktur, waktu akhirnya mengambil perannya.
Tidak Seluruh Bagian Rumah Ambruk
Meski sebagian besar bangunan roboh, Diding menjelaskan bahwa tidak semua bagian rumah hancur bersamaan. Bagian depan rumah masih relatif bertahan karena lebih sering mendapatkan perawatan ringan dibandingkan area tengah hingga belakang.
“Yang parah itu bagian tengah ke belakang. Kalau depan masih bisa bertahan karena sering diutak-atik. Tengah ke belakang kita anggap aman saja,” jelasnya.
Kondisi ini menunjukkan adanya perbedaan kualitas struktur akibat perawatan yang tidak merata. Bagian yang jarang disentuh akhirnya menjadi titik terlemah dan runtuh terlebih dahulu.
Rumah Peninggalan Kakek, Sarat Nilai Sejarah
Lebih dari sekadar bangunan, rumah tersebut memiliki nilai historis yang sangat tinggi bagi Diding Boneng. Ia menegaskan bahwa rumah itu merupakan peninggalan kakeknya dan telah diwariskan secara turun-temurun hingga kini.
Diding bahkan lahir di rumah tersebut dan tumbuh besar di dalamnya. Usia bangunan diperkirakan telah melampaui satu abad, jauh sebelum ia dilahirkan.
Baca Juga: PN Jakarta Pusat Bantah Hakim Walk Out di Sidang Delpedro Cs
“Saya lahir di sini. Rumah ini sudah ada sebelum saya lahir. Saya sekarang 75 tahun, dan waktu saya melek mata, rumah ini sudah berdiri. Ini rumah kakek, turun ke orang tua, lalu ke saya,” ungkapnya.
Pernyataan itu mempertegas bahwa robohnya rumah bukan hanya kehilangan materi, tetapi juga runtuhnya simbol sejarah keluarga yang telah bertahan lintas generasi.
Pelajaran tentang Rumah Tua dan Warisan Keluarga
Kejadian yang menimpa Diding Boneng menjadi pengingat penting tentang risiko bangunan tua yang tidak mendapatkan perawatan menyeluruh. Banyak rumah warisan keluarga di perkotaan berdiri di atas usia puluhan hingga ratusan tahun, namun sering kali luput dari inspeksi struktur yang memadai.
Musibah ini sekaligus menyoroti pentingnya kesadaran akan pelestarian rumah bersejarah, tidak hanya dari sisi nilai sentimental, tetapi juga keselamatan penghuninya. Bagi Diding, peristiwa ini meninggalkan luka emosional yang mendalam, namun juga menjadi refleksi berharga.
Di tengah puing-puing rumah yang runtuh, tersimpan kenangan masa kecil, perjalanan hidup, dan sejarah keluarga yang tak tergantikan. Kehilangan itu kini menjadi pengingat bahwa warisan masa lalu memerlukan perhatian serius agar tetap berdiri di masa depan.
