"Kalau naik cuma segitu mah, enggak ada apa-apanya, ibarat kata kenaikan sembako lebih tinggi dari UMP. Sekarang kontrakan, transportasi, sembako juga pada naik," keluh perantau asal Banten tersebut, saat ditemui di sela-sela aksi unjuk rasa.
Pria satu anak itu, menduga para pemutus kebijakan tidak mengerti kondisi di lapangan, mereka tidak mengetahui adanya kesenjangan antara harga-harga yang terus melambung dengan pendapatan atau gaji.
Bahkan, ia meyakini para pejabat yang membuat kebijakan UMP tidak pernah hidup pas-pasan setiap bulannya.
Keluhan serupa juga disampaikan Rika, pekerja sektor ritel di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Perempuan berusia 29 tahun itu menilai kenaikan UMP Jakarta 2026 sebesar Rp5,73 juta belum sebanding dengan beban hidup yang harus ia tanggung setiap bulan.
Bahkan sebagian besar penghasilannya habis untuk kebutuhan dasar seperti sewa tempat tinggal, transportasi, serta kebutuhan makan sehari-hari.
“Gaji naik, tapi pengeluaran jauh lebih cepat naik. Baru terima gaji sudah kepikiran buat bayar kontrakan dan ongkos kerja. Kalau ada sisanya juga tinggal sedikit,” keluh Rika, saat ditemui di kawasan Patung Kuda.
Menurut Rika, upah minimum idealnya mampu memberikan ruang bagi pekerja untuk menabung atau memenuhi kebutuhan darurat, bukan sekadar bertahan hidup.
Oleh karena itu, ia berharap aspirasi yang disuarakan para buruh dapat didengar oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan merevisi ketentuan UMP tahun 2026. (man)
