Selain itu, ia menyoroti penilaian appraisal yang dinilai tidak memasukkan komponen lain.
“Biasanya ada solatium, biaya tunggu, biaya pindah, biaya kehilangan usaha atau pekerjaan. Di sini nggak ada. Rinciannya juga nggak jelas, cuma NJOP tanah saja,” katanya.
Azhari mencontohkan rumah dua lantai miliknya seluas 44 meter persegi yang dihargai Rp735 juta.
“Dengan Rp735 juta saya nggak mungkin dapat rumah seperti ini lagi di Jakarta. Padahal di rumah itu ada usaha konveksi. Kalau pindah ke tempat jauh, usaha juga mati,” ujarnya.
Ia menegaskan warga tidak menolak pembangunan, namun meminta penerapan ganti untung.
“Kita nggak niat jual. Ini kan dipakai untuk proyek negara. Harusnya nilainya lebih tinggi, supaya warga bisa beli rumah lagi, bukan malah jatuh miskin,” kata Azhari. (cr-4)
