Ekonomika Pancasila: Kutukan Kapitalisme

Rabu 17 Des 2025, 06:05 WIB
Opini Ekonomika Pancasila oleh Prof. Yudhie Haryono, Ph.D (Sumber: Dok. Poskota)

Opini Ekonomika Pancasila oleh Prof. Yudhie Haryono, Ph.D (Sumber: Dok. Poskota)

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre)

Gundulnya hutan itu lukisan kejahatan. Banjir bandang itu akumulasi. Kemiskinan struktural itu potret kekinian. Ketimpangan segala hal itu "qada" kehidupannya. Babunya babu bangsa-bangsa itu takdir tak terelakan.

Delapan puluh tahun kita menuju destinasi yang diimpikan tetapi dinajiskan negara lain. Inilah buah neoliberal yang roadmapnya bernama ekonomi ekstraktif.

Jika pra proklamasi negeri ini mengekspor bahan mentah dan tenaga remeh, paska proklamasi disempurnakan dengan impor barang jadi dan tenaga ahli.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Kemiskinan yang Dipelihara

Kita paham bahwa "dalam naungan ekstraktifisme," sistem ekonominya berfokus pada investasi asing (utang) serta pengerukan sumber daya alam, seperti minyak, gas, mineral, dan hasil hutan lainnya, untuk diekspor ke pasar internasional. Semua didapatkan dari kontrak dan ilusi investasi (utang najis).

Para pemuja investasi/utang percaya bahwa investasi itu "kuntji" bukan invasi. Mereka keracunan dogma sesat dan menyesatkan sampai tak tahu bahwa "banyak alternatif lain di luar sana."

Padahal, tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan sedikit pendapatan bagi pemerintah. Tetapi sebaliknya, sangat besar bagi investor, tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang terjadi. Kehancuran ekosistem lestari.

Ciri-cirinya tentu: 1)Berfokus pada sumber daya alam dalam keadaan mentah; 2)Berlaku ekspor untuk menghasilkan sedikit pendapatan untuk negara, tetapi berlipat untuk investor; 3)Menghasilkan ketergantungan dan anti industrialisasi serta hilirisasi; 4)Kurangnya diversifikasi sehingga rentan terhadap fluktuasi harga.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Ekonomi Devisit Kesentosaan

Maka, dampak riil di kita adalah ketimpangan ekonomi; kerusakan lingkungan; kecanduan pada sumber daya mentah; KKN yang meluas, merata dan menjadi agama.

Karenanya, refleksi banjir dan bencana alam yang berulang adalah muncul tafsir kemerdekaan terbaik hari ini, "kami merdeka sebab ingin menggunduli hutan semuanya dan mengeruk SDAnya tanpa sisa." Proyeksinya, berkecambahlah kegilaan baru elite silite Indonesia.

Ya. Jika melihat kutukan alam dahsyat seperti banjir di Sumatera, maka terlihat bakat besar bangsa ini hanya dua: KKN dan merusak alam semesta!

Dengan kondisi riil ini, Indonesia adalah rumah warisan yang digadaikan murah para penghuninya untuk memastikan ahli waris berikutnya tuna wisma/gelandangan.

Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Dari Reformasi Personal ke Revolusi Struktural

Padahal, dengan hitungan sederhana (KPK: 2020), mestinya semua warga negara Indonesia dapat memperoleh gaji Rp 35 juta per bulan dari pengelolaan sektor sumber daya alam atau pertambangan. Syaratnya cuma dua: nasionalisasi dan bebas KKN.

Sayangnya makin ke sini, masyarakat kita (terutama pemimpinnya) menukar jiwa-raga dengan barang, gengsi, kenikmatan dan kedangkalan. Cinta barang mentah, rindu tenaga remeh sambil anti nalar, anti Pancasila.

Itulah mengapa, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK: 2024), daerah yang kaya tambang (barang mentah) cenderung memiliki penduduk paling miskin. Dan, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 menunjukkan bahwa sepuluh provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah penghasil tambang terbesar (lagi-lagi barang mentah). Tentu ini lukisan buram kita semua.(*)


Berita Terkait


News Update