Kopi Pagi. (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi

Kopi Pagi: Mitigasi Krisis Lingkungan

Senin 15 Des 2025, 08:49 WIB

POSKOTA.CO.ID - “Eksploitasi sumber daya alam berlebihan tanpa memperhatikan aspek lingkungan, tak ubahnya hanya memanfaatkan bumi, air dan seisinya, tetapi ogah merawat dan menjaganya. Pertanda tak lagi mau bersahabat dengan alam, malah merusaknya..” - Harmoko

Dulu, sering diibaratkan masyarakat Indonesia “bernapas di tengah lingkaran api” karena sekitar 150 juta warga bertempat tinggal pada 386 kabupaten/kota yang berada di zona bahaya gempa bumi. Dan, jutaan orang berada di daerah rawan tsunami yang tersebar pada 233 kabupaten/kota. Sementara jutaan warga lainnya, terancam erupsi gunung berapi yang tersebar pada 75 kabupaten/kota.

Kini, masyarakat Indonesia hidup di tengah krisis iklim dan krisis lingkungan disebabkan buruknya tata kelola lingkungan yang berdampak acap munculnya bencana alam.

Banjir dan tanah longsor yang rutin setiap tahun terjadi dengan tak terkendali di sejumlah daerah kian mengingatkan kepada kita bahwa krisis lingkungan ada di depan mata.Tragedi di Sumatera di penghujung tahun 2025 ini menjadi contoh nyata.

Baca Juga: Kopi Pagi: Hak Asasi – Kewajiban Asasi  

Tak berlebihan sekiranya dikatakan, saat ini kita menghadapi krisis multidimensi. Bencana alam, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan, deforestasi, degradasi lahan, peningkatan gas rumah kaca, pemanasan global, perubahan iklim hingga hilangnya keanekaragaman hayati menjadi ancaman nyata.

Di sisi lain, dampak krisis lingkungan terhadap masyarakat dan ekonomi Indonesia sangatlah serius.Sebut saja hilangnya habitat alami mengancam mata pencaharian masyarakat yang tergantung kepada sumber daya alam seperti pertanian, perikanan dan kegiatan hutan. Selain menghambat pertumbuhan sektor pariwisata, kerugian ekonomi yang sangat besar, sudah pasti.

Penyebab krisis lingkungan sangatlah kompleks, selain eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, juga kebijakan yang lemah, korupsi, penegakan hukum yang belum tuntas memberikan efek jera. Belum lagi kompleksitas masalah lingkungan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan menjadi tantangan tersendiri dalam mengatasi krisis.

Tak kalah pentingnya kesadaran dan edukasi masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan.

Baca Juga: Kopi Pagi: Rayakan Kejujuran

Penebangan hutan secara masif, baik legal maupun ilegal untuk perkebunan, pertambangan dan pembangunan infrastruktur di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS), menandai bahwa hutan hanya dilihat sebagai aset ekonomi semata.

Padahal, hutan menjalankan fungsi yang vital, seperti menahan air, menjaga kesuburan dan menopang kehidupan. Fungsi ini yang terabaikan, sehingga merusak alam, mendatangkan banjir bandang dan tanah longsor.

Fakta tak terbantahkan, sepanjang tahun 2024 berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), negeri kita diterpa 2.203 bencana alam. Terbesar adalah banjir 1.109 kasus dan tanah longsor 136.

Hingga 13 Desember 2025, terdapat 2.997 bencana alam, banjir menempati posisi teratas dengan 1.503 kasus. cuaca ekstrem 644 kasus. Tingginya intensitas hujan, alih fungsi lahan, dan kondisi geografis (kerusakan lingkungan) menjadi faktor pemicu.

Bencana alam tersebut menyebabkan 1.442 orang meninggal dunia, 289 hilang, 6.170 luka-luka, belum lagi lebih dari 10 juta warga menderita dan mengungsi.

Merespons bencana alam tersebut, tak cukup melakukan mitigasi (mengurangi risiko) bencana, tak kalah pentingnya adalah mengatasi dari sumbernya, yakni mitigasi krisis lingkungan sebagai penyebab bencana banjir dan tanah longsor.

Baca Juga: Kopi Pagi: Krisis Iklim dan Lingkungan

Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek lingkungan, tak ubahnya hanya memanfaatkan bumi, air dan seisinya, tetapi ogah merawat dan menjaganya. Pertanda tak lagi mau bersahabat dengan alam, malah merusaknya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Sementara kita tahu, pitutur luhur berbahasa Jawa mengajak kita: Memayu hayuning bawana – selalu berupaya menjaga, memperindah dan melestarikan alam semesta serta menciptakan keselamatan dan kesejahteraan di dunia.

Filosofi ini mengingatkan agar kita senantiasa bersahabat dengan alam, saling menjaga dan menghormati. Pepatah lanjutan: Alam maringi, alam ngelakoni lan alam ngadili – alam memberi, alam melakukan (proses) dan alam itu mengadili. Alam memiliki hukum keseimbangan sendiri,dan manusia harus menghormati.

Bersahabat dengan alam ini menjadi bagian inti dari mitigasi krisis lingkungan, mengingat penyebab krisis lingkungan tak lepas dari perilaku manusia terhadap alam sekitarnya, baik melalui kebijakan yang tidak prolingkungan, kebijakan demi kepentingan bisnis semata, juga sifat serakah dalam eksploitasi sumber daya alam.

Mari kita mitigasi krisis lingkungan mulai dari diri kita sendiri, dengan menjaga alam semesta, bukan hanya pandai mengeksploitasi, namun tak peduli merawatnya. (Azisoko)

Tags:
Sumatrabencana alamKopi Pagi

Tim Poskota

Reporter

Febrian Hafizh Muchtamar

Editor