JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pengamat tata kota, Yayat Supriyatna, menegaskan, pentingnya penerapan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) secara ketat pada seluruh bangunan di Jakarta, sebagai langkah utama pencegahan kebakaran.
Hal itu diungkapkannya, menyusul kejadian Gedung Terra Drone di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, pada Selasa, 9 Desember 2025, yang mengalami kebakaran hebat hingga menimbulkan 22 korban jiwa.
Ia menyebut, persoalan keselamatan bangunan, khususnya terkait risiko kebakaran, seharusnya mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Menurut Yayat, dalam regulasi tersebut ditegaskan bahwa setiap bangunan gedung wajib memiliki sertifikasi laik fungsi yang tidak hanya menilai aspek administratif, tetapi juga mencakup keselamatan bangunan secara menyeluruh.
Baca Juga: Kebakaran Maut Terra Drone, Gubernur Pramono Instruksikan Audit SLF Seluruh Gedung di Jakarta
“Artinya gedung-gedung itu harus memiliki sertifikasi laik fungsi yang mencakup juga aspek keselamatan bangunannya,” ujar Yayat saat dikonfirmasi, Sabtu, 13 Desember 2025.
Ia menjelaskan, sertifikasi laik fungsi memiliki tujuan yang sangat penting dalam konteks mitigasi kebakaran.
"Karena dia punya tujuan terkait aspek kebakaran itu. Pertama untuk mendeteksi dan memadamkan kebakaran dengan cepat kemudian memastikan evakuasi aman bagi penghuni, sama mengurangi risiko penyebaran api dan kerusakan," ucap Yayat.
Namun demikian, Yayat mempertanyakan apakah sertifikasi laik fungsi tersebut benar-benar telah dilakukan dan diperbaharui pada gedung-gedung yang mengalami kebakaran.
Selain itu, ia juga menyoroti persoalan fungsi bangunan, apakah digunakan murni sebagai perkantoran atau justru difungsikan sekaligus sebagai tempat penyimpanan peralatan maupun bahan-bahan yang mudah terbakar.
“Ini menjadi sensitif, karena setiap bangunan yang mencampurkan fungsi perkantoran dengan fungsi penyimpanan bahan atau peralatan yang mudah terbakar harus mendapat perhatian khusus,” katanya.
Ia menilai, sertifikasi laik fungsi seharusnya memastikan bahwa fungsi bangunan diterapkan secara konsisten, apakah sebagai kantor, gudang, atau penyimpanan peralatan tertentu.
Lebih lanjut, Yayat menegaskan, pencampuran fungsi bangunan menjadi semakin berisiko apabila berkaitan dengan bahan-bahan yang sangat sensitif dan mudah terbakar, seperti baterai litium yang banyak digunakan pada perangkat drone.
"Bahan tersebut memiliki tingkat energi tinggi dan sangat rentan terhadap panas, kerusakan fisik, korsleting internal, maupun kelebihan pengisian daya yang dapat memicu kebakaran hebat," kata dia.
Ia juga mengingatkan bahwa sertifikasi laik fungsi memiliki masa berlaku tertentu dan wajib dilakukan pemeriksaan ulang secara berkala, misalnya setiap lima tahun.
Proses perpanjangan tersebut seharusnya disertai dengan audit menyeluruh terhadap kondisi bangunan, termasuk evaluasi fungsi ruang dan potensi risiko kebakaran.
“SLF itu bukan berlaku selamanya, harus dicek ulang dan diaudit,” ungkap Yayat.
Dalam konteks Jakarta, Yayat menilai persoalan keselamatan bangunan menjadi semakin kompleks karena tidak semua gedung merupakan bangunan baru.
Baca Juga: Kebakaran Gedung Terra Drone Tewaskan 22 Orang, DPRD DKI Minta Audit Keselamatan Gedung
"Banyak gedung di ibu kota yang telah berusia lebih dari 20 hingga 30 tahun, sehingga memerlukan perhatian khusus terhadap sistem mitigasi kebakaran yang dimiliki," ujarnya.
Ia mempertanyakan apakah gedung-gedung bertingkat di Jakarta yang jumlahnya mencapai ratusan telah diaudit secara menyeluruh dari sisi keselamatan kebakaran.
Yayat juga menyoroti kejelasan pihak yang bertanggung jawab melakukan audit tersebut, apakah dinas bangunan gedung, dinas pemadam kebakaran, atau lembaga lain yang memiliki kewenangan dan tenaga ahli memadai.
“Pemprov DKI perlu menginformasikan secara terbuka mana bangunan yang sudah memiliki sertifikasi laik fungsi dan mana yang belum,” ucapnya.
Menurutnya, transparansi ini penting sebagai pembelajaran bagi pemilik gedung, penyewa, maupun masyarakat umum agar mengetahui tingkat keamanan bangunan yang digunakan.
Ia mengungkapkan, pemilik gedung memiliki kewajiban untuk memastikan bangunannya aman dan telah diaudit, sementara penyewa juga berhak mendapatkan penjelasan bahwa bangunan yang ditempati memenuhi standar keselamatan dari ancaman bencana, baik gempa maupun kebakaran.
Lebih lanjut, Yayat memaparkan sejumlah persyaratan sistem proteksi kebakaran yang mengacu pada Peraturan Menteri PUPR tahun 2006-2008.
"Persyaratan tersebut antara lain mencakup sistem deteksi kebakaran seperti alarm, detektor asap, dan detektor panas yang harus terpasang di setiap lantai," ujar dia.
Selain itu, dikatakan Yayat, gedung juga wajib memiliki sistem pemadam kebakaran berupa hidran, sprinkler otomatis, serta alat pemadam api ringan (APAR) dengan penempatan yang jelas dan mudah dijangkau.
Syarat penting lainnya adalah ketersediaan jalur evakuasi yang aman, cukup lebar, mudah diakses, serta dilengkapi dengan rambu penunjuk arah dan penerangan darurat.
Dari berbagai kasus kebakaran di Jakarta, Yayat menilai jalur evakuasi kerap menjadi titik lemah, terutama di gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan yang minim rambu dan akses keluar darurat.
Ia juga menyoroti penggunaan material bangunan yang mudah terbakar, baik pada struktur, partisi, maupun elemen dekoratif dan fasad bangunan.
Menurutnya, demi estetika dan efisiensi, banyak gedung menggunakan material yang kurang tahan api, sehingga mempercepat penyebaran api saat terjadi kebakaran.
Yayat mencontohkan, kasus kebakaran hebat di Hong Kong yang diperparah oleh penggunaan material fasad tertentu. Ia mempertanyakan apakah bangunan-bangunan di Jakarta telah memperhatikan aspek tersebut, termasuk ketersediaan ventilasi dan jendela darurat.
"Banyak gedung di Jakarta, didesain tertutup dengan dominasi kaca demi estetika, namun minim ventilasi, sehingga asap tidak dapat keluar saat kebakaran dan menyebabkan penghuni terjebak dalam kondisi sesak napas dan gelap," ungkap dia.
Yayat menegaskan, pentingnya pemisahan fungsi bangunan, terutama antara ruang perkantoran atau zona publik dengan ruang penyimpanan bahan berbahaya.
Ia mengingatkan agar bahan-bahan sensitif seperti tabung gas, baterai litium, dan baterai drone tidak ditempatkan di ruang yang tidak semestinya.
Baca Juga: Profil Michael Wisnu Wardhana Dirut Terra Drone yang Ditetapkan Jadi Tersangka Kebakaran
"Jangan mencampurkan bahan-bahan berbahaya di dalam ruang perkantoran atau zona publik dan sebagainya. karena dia mudah sekali dengan energi densitas tinggi, jika rusak bisa keluar panas berlebihan," ucap dia.
Ia mencontohkan praktik di bangunan pergudangan dan pengiriman barang yang menyimpan bahan sensitif, di mana pengaturan suhu ruangan dan sistem pendingin menjadi perhatian utama untuk mencegah kerusakan dan kebakaran.
“Sering kali demi efisiensi dan kemudahan, barang-barang berbahaya ditempatkan di ruang yang sebenarnya tidak aman. Ini yang harus menjadi perhatian serius ke depan,” kata Yayat. (cr-4)