“Sebenernya harus dioperasi, diamputasi kata dokter. Harusnya kan pasang pen. Tapi saya enggak melakukan itu," ucapnya lirih.
Saat ini Nurhadi tinggal di rumah sederhana miliknya sendiri. Sedangkan ayah dan ibu sambungnya tinggal tepat di samping rumah yang ia tempati.
Ayahnya kerap menengok seminggu sekali untuk membantu Nurhadi untuk mengganti pakaian dan membersihkan tubuhnya.
Di kasur tempatnya terbaring, terlihat beberapa tumpukan sampah plastik dan sisa makanan. Nurhadi mengaku sampah itu biasanya baru dibuang menjelang sore atau malam ketika ada tetangga atau keluarga yang datang menjenguk.
Viralnya kondisi Nurhadi membuat petugas desa, dinas sosial, dan sejumlah dermawan mulai berdatangan memberikan bantuan. Meski begitu, Nurhadi masih menyimpan satu keinginan sederhana. Ia ingin bangkit lewat usaha kecilnya.
“Saya ingin beli PS lagi, buat rental lagi. Biar ada yang nemenin gitu aja, biar enggak sendiri,” ucapnya.
Baca Juga: Jobfair Dibuka di TIM, Pramono Minta Perusahaan Benar-Benar Serap Tenaga Disabilitas
Dalam nada suaranya terselip kerinduan pada masa-masa ketika suara anak-anak bermain PS memenuhi rumahnya.
Ia terakhir memeriksakan kesehatan pada tahun 2018. Setelah itu, ia hanya bisa pasrah dan berusaha menerima keadaan.
“Terakhir ke rumah sakit itu sejak habis jatuh, tahun 2018. Dulu berobatnya pakai BPJS. Tapi sekarang kegiatannya hanya nonton YouTube sama Facebook aja udah,” tuturnya.
Dalam keterbatasan dan rasa sakit yang tak kunjung selesai, Nurhadi masih memeluk harapan untuk bangkit. Bukan harapan besar, hanya ingin membuka kembali usaha kecilnya dan tidak merasa sendirian lagi. (cr-3)
