JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mencatat sebanyak 1.917 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi sepanjang Januari hingga November 2025.
Berdasarkan identifikasi KemenPPPA dan laporan DPAPP DKI, ada lima faktor utama pemicu kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Stafsus Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi dan Media, Chico Hakim, menjelaskan, bahwa pemicu kekerasan tidak dapat dilihat secara terpisah.
Menurutnya, dinamika kota besar seperti Jakarta mulai dari kemacetan, tekanan ekonomi, hingga perubahan pola keluarga membentuk rangkaian faktor yang saling berhubungan.
"Ini saling terkait. Terutama di tengah dinamika urban seperti kemacetan, biaya hidup tinggi, dan perubahan pola keluarga," ujar Chico kepada Poskota, Minggu, 23 November 2025.
Baca Juga: Hari Anti Kekerasan 2025, Wagub Rano Karno Tegaskan Pentingnya Perlindungan Perempuan dan Anak
Chico mengatakan, tekanan finansial masih menjadi penyumbang terbesar munculnya kekerasan dalam rumah tangga.
"Seperti pengangguran atau inflasi, sering memicu konflik rumah tangga yang berujung KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), memengaruhi perempuan dan anak sebagai korban utama," ucap Chico.
"Di Jakarta, ini dominan karena banyak pekerja migran yang terpisah keluarga," ujarnya.
Selain itu, kata Chico, kesibukan orang tua bekerja dan waktu bersama anak yang semakin berkurang membuat pengawasan melemah.
Selain itu, kurangnya pengetahuan mengenai parenting positif memicu tindakan kekerasan emosional maupun fisik.
"Ini berdampak pada kekerasan emosional atau fisik, di mana anak mencari pelarian di luar rumah yang justru berisiko," kata Chico.
Chico mengungkapkan, gadget dan media sosial juga menjadi faktor baru yang menyumbang perilaku kekerasan, terutama di kalangan remaja.
"Di Jakarta, urbanisasi membuat anak lebih bergantung gadget, yang kadang picu bullying online berujung fisik," ungkap Chico.
Kondisi lingkungan sekitar, dikata Chico, turut menjadi pemicu terjadinya kekerasan.
"Seperti tetangga tak peduli atau ketimpangan relasi kuasa di sekolah atau komunitas, memudahkan kekerasan. Urbanisasi cepat di Jakarta juga isolasi korban, kurangi dukungan sosial," ujarnya.
Baca Juga: 330 Ribu Kasus Kekerasan, Komnas Perempuan Singgung Pelaku dari Aparat Negara
Chico menyebut, praktik pernikahan usia dini, terutama bagi perempuan muda, menjadi pemicu kekerasan yang berulang.
"Norma patriarki dan pernikahan dini jadi pintu masuk kekerasan, ditambah kurangnya akses pendidikan dan hukum. Ini sering terdeteksi di kasus KDRT atau seksual," ucapnya.
Chico menegaskan bahwa lima faktor itu didasari survei nasional 2025, yang menyebutkan bahwa 70% korban enggan melapor karena takut stigma sosial.
"Pencegahan harus mulai dari keluarga, dengan edukasi dini," katanya. (cr-4)
