POSKOTA.CO.ID - Aset kripto terbesar di dunia, yaitu Bitcoin kembali mengalami koreksi tajam setelah jatuh ke level US$86.000, terendah dalam tujuh bulan terakhir.
Penurunan signifikan ini mencerminkan tekanan pasar yang semakin kuat di tengah memburuknya sentimen ekonomi global dan perubahan kebijakan moneter Amerika Serikat.
Menurut laporan data pasar Coingecko pada Jumat, 21 November 2025, harga Bitcoin merosot lebih dari 6 persen dalam 24 jam, dari kisaran US$92.000 menuju US$86.100.
Kondisi ini menjadi level terendah sejak April 2025, saat pasar global terguncang akibat kebijakan tarif impor AS yang memicu kepanikan investor.
Baca Juga: Harga Kripto Hari Ini 30 Oktober 2025: Bitcoin Anjlok, Ethereum Ikut Terseret ke Zona Merah
Kapitalisasi pasar Bitcoin turut anjlok menjadi US$1,72 triliun, sementara kapitalisasi pasar kripto global turun ke US$2,97 triliun.
Aset kripto besar lainnya juga terkoreksi, termasuk Ethereum (ETH) ke US$2.800, serta XRP, BNB, dan Solana (SOL) yang turun 4–6 persen dalam sehari.
Di pasar derivatif, gelombang likuidasi mencapai US$831 juta dalam 24 jam, dengan posisi long mencatat kerugian terbesar sebesar US$712 juta. Bitcoin dan Ethereum menjadi aset yang paling terdampak.
Tiga Faktor Pendorong Koreksi
Berikut ini tiga faktor pendorong koreksi pasar kripto, antara lain:
Baca Juga: 5 Kelebihan Trading Bitcoin Futures
Sentimen Makro Memburuk
Faktor utama yang memicu anjloknya harga Bitcoin adalah perubahan sikap The Federal Reserve yang kembali menunjukkan pendekatan hawkish.
Pasar sebelumnya mengantisipasi pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat, namun pejabat The Fed menegaskan bahwa tingkat inflasi masih terlalu tinggi untuk melakukan penurunan suku bunga.
Berdasarkan data CME FedWatch, hanya 37,6 persen pelaku pasar yang memperkirakan pemangkasan suku bunga 25 bps pada Desember, sementara lebih dari 62 persen memperkirakan tidak ada perubahan, berbeda dari prediksi sebelumnya yang masih seimbang.
Meredupnya ekspektasi pemangkasan suku bunga membuat investor mengurangi eksposur ke aset berisiko, termasuk Bitcoin dan kripto, sehingga memperbesar tekanan jual di pasar spot maupun derivatif.
Baca Juga: Cara Praktis Main Bitcoin untuk Pemula, Untung Besar Bukan Lagi Mimpi
Aksi Jual Ritel Melalui ETF Bitcoin dan Ethereum
Faktor berikutnya berasal dari keluarnya dana besar-besaran dari ETF berbasis Bitcoin dan Ethereum. Sepanjang November, lebih dari US$4 miliar keluar dari ETF BTC dan ETH, melewati rekor tertinggi sebelumnya pada Februari.
Berbanding terbalik, pasar saham justru mencatat arus masuk US$96 miliar ke ETF ekuitas sepanjang bulan yang sama. Jika tren berlanjut hingga akhir November, total bisa mencapai US$160 miliar.
Fenomena ini menunjukkan bahwa investor ritel masih memisahkan kategori risiko antara aset kripto dan ekuitas, meskipun keduanya sama-sama berisiko tinggi.
Koreksi kripto pada November tampaknya lebih dipengaruhi oleh investor non-kripto dibanding trader futures profesional.
Baca Juga: Emas vs Bitcoin, Mending Pilih Investasi Apa di Era Digital?
Tekanan Jual Mid-Cycle Wallet yang Mulai Lepas BTC
Laporan terbaru menyebutkan bahwa tekanan jual tambahan dipicu oleh kelompok mid-cycle wallet, yakni wallet yang terakhir berpindah kepemilikan dalam 1–5 tahun terakhir. Kelompok ini mulai merealisasikan keuntungan di tengah meningkatnya volatilitas pasar.
Berbeda dengan pemegang jangka panjang (long-term holder), kelompok mid-cycle justru melepas BTC dalam jumlah besar sehingga memperberat penurunan harga Bitcoin di pasar spot dan membawa aset ini ke level terendah dalam tujuh bulan.
Indeks Fear and Greed untuk pasar kripto juga berada dalam zona ketakutan ekstrem, menandakan rendahnya minat investor untuk kembali masuk ke aset berisiko termasuk Bitcoin.
Disclaimer: Artikel ini hanya berupa informasi umum dan bukan ajakan atau saran untuk berinvestasi cryptocurrency.
