Kementerian Pendidikan pun mengonfirmasi bahwa ketidakcocokan data Dapodik menjadi akar masalah, sehingga operator daerah dipanggil untuk evaluasi.
Faisal mengingatkan bahwa pemungutan dana tanpa dasar hukum jelas berpotensi dianggap sebagai pungutan liar.
Kilasan Kasus Lama: Vonis Pidana pada Tahun 2018
Meskipun kini kembali ramai, akar kasus ini bermula sejak 2018. Saat itu, dua guru ASN Abdul Muis dan Rasnal mengusulkan iuran sebesar Rp20.000 per bulan untuk membantu guru honorer yang tidak digaji hingga sepuluh bulan.
Mereka mengklaim bahwa keputusan ini dihasilkan dalam rapat komite. Namun laporan dari sebuah LSM membuat kasus merembet ke ranah hukum. Mahkamah Agung kemudian menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada keduanya.
Pemerintah Provinsi Sulsel bahkan memberhentikan keduanya dari status ASN.
Abdul Muis, dalam wawancara media online, menjelaskan:
“Saya hanya menjalankan amanah bendahara komite berdasarkan hasil rapat orang tua siswa.”
Ia menyebut bahwa dana digunakan untuk operasional sekolah serta insentif tambahan bagi guru yang memiliki tugas ekstra seperti wali kelas dan pengelola laboratorium.
Iuran Bertahun-Tahun Tanpa Laporan Jelas
Dalam penjelasannya, Faisal juga menyebut bahwa iuran ini berjalan selama empat tahun dengan kisaran Rp20.000–Rp30.000 per bulan. Tidak ada laporan rinci, dan menurutnya hal itu sangat tidak wajar untuk dana yang dikumpulkan dari masyarakat.
“Selama empat tahun, iuran tetap diberlakukan tanpa laporan rinci. Jumlahnya tentu besar.”
Ia juga mengkritik keberlanjutan pungutan selama pandemi, ketika aktivitas sekolah berkurang drastis. Baginya, kebijakan itu tidak memperhatikan situasi ekonomi orang tua yang sedang sulit.
Mengenal Sosok Faisal Tanjung
Faisal bukan nama baru di dunia advokasi Luwu Utara. Berdasarkan penelusuran sejumlah sumber, ia pernah menempuh pendidikan di Universitas Palopo dan merupakan aktivis yang menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Agitasi dan Propaganda DPC GMNI Luwu Utara.
