Namun, justru di situlah keunikannya.
Bagi generasi Z, hal-hal yang nggak nyambung justru sering dianggap lebih lucu dan relatable.
Dalam dunia meme dan konten singkat, sesuatu yang absurd sering kali jauh lebih efektif memancing tawa daripada lelucon yang terlalu dipikirkan.
“Six seven” pun akhirnya menjadi bagian dari humor nonsens—candaan yang tak punya makna jelas tapi terasa menyenangkan untuk diucapkan.
Mirip seperti ungkapan “skibidi”, “gyatt”, atau “rizzler” yang populer di era digital.
Fenomena Humor Absurd di Kalangan Gen Z
Fenomena seperti ini bukan hal baru. Di setiap era, anak muda selalu punya bahasa dan simbol sendiri untuk mengekspresikan identitasnya.
Kalau generasi 90-an punya istilah “alay”, dan milenial punya “baper” atau “gabut”, maka Gen Z menciptakan bahasa meme yang seringkali hanya dimengerti oleh komunitasnya sendiri.
“Six seven” menjadi contoh sempurna dari lelucon internal internet (inside joke).
Ia bukan sekadar angka, tapi simbol kebersamaan dan kreativitas kolektif.
Ketika seseorang berkata “six seven” dalam konteks lucu, orang lain yang tahu tren itu langsung merasa “nyambung”—muncul rasa satu frekuensi yang khas dalam budaya digital.
Humor semacam ini menggambarkan pergeseran cara berkomunikasi di era media sosial.
Kini, makna tidak selalu penting. Yang utama adalah emosi dan koneksi sosial yang diciptakan lewat kata, ekspresi, atau bahkan angka acak seperti “67”.
