POSKOTA.CO.ID - Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) kembali menjadi sorotan publik setelah Mahfud MD mengungkap dugaan adanya ketidakwajaran dalam struktur pembiayaan dan pelaksanaannya. Dalam pernyataannya, Mahfud menyoroti adanya perbedaan mencolok antara rencana awal kerja sama dengan Jepang dan keputusan akhir yang menggandeng Tiongkok.
Melansir dari channel Youtube @Mahfud MD Official, Menurutnya, proposal Jepang sebelumnya menawarkan bunga pinjaman sangat rendah, hanya 0,1%, dengan skema yang dinilai lebih transparan dan efisien.
Namun, arah proyek berubah setelah muncul keputusan untuk bekerja sama dengan China Railway International, di mana bunga pinjaman melonjak hingga 3,4%.
“Awalnya kita akan kerja sama dengan Jepang, tapi kemudian dialihkan ke China dengan bunga yang jauh lebih tinggi,” ujar Mahfud MD dalam pernyataannya.
Mahfud MD menyebut, keputusan ini merupakan inisiatif langsung dari Presiden Jokowi. Pertimbangan utamanya saat itu adalah proses pembangunan yang lebih cepat dan pembiayaan yang tidak membebani APBN. Namun, di balik janji efisiensi, ternyata muncul masalah pembengkakan biaya yang cukup signifikan.
Baca Juga: GWM Indonesia Catat Pertumbuhan Penjualan Mobil 45 Persen pada September 2025
Biaya Melonjak Tiga Kali Lipat, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Menurut Mahfud, angka pembengkakan proyek Whoosh sangat tidak masuk akal. Sebagai perbandingan, di China, biaya pembangunan jalur kereta cepat hanya sekitar US$17 juta per kilometer. Namun di Indonesia, biaya tersebut melonjak menjadi US$52 juta per kilometer, hampir tiga kali lipat!
Angka ini tentu memicu tanda tanya besar: apakah ada kesalahan perhitungan, atau justru ada markup biaya yang disengaja?
Bagi publik, perbedaan tersebut terasa ganjil. Apalagi jika mengingat kondisi geografis dan panjang jalur yang tidak terlalu ekstrem. Jalur Jakarta–Bandung bahkan tergolong pendek, hanya sekitar 142 kilometer. Jadi, mengapa biayanya bisa begitu besar?
Penolakan Ignasius Jonan: “Tidak Masuk Akal Secara Ekonomi”
Dalam pengakuannya, Mahfud juga menyinggung peran Ignasius Jonan, mantan Menteri Perhubungan. Jonan disebut sempat menolak kerja sama dengan China karena menilai proyek tersebut tidak masuk akal secara ekonomi.
Ia menilai, biaya investasi terlalu tinggi, potensi pengguna masih terbatas, dan proyeksi keuntungan jangka panjang belum jelas. Namun, penolakan itu berujung pada pencopotan dirinya dari jabatan menteri.
