Dakwaan JPU kepada Terdakwa Kasus Korupsi Minyak Mentah Dinilai tidak Jelas

Senin 20 Okt 2025, 20:18 WIB
Suasana sidang lanjutan kasus korupsi minyak mentah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin, 20 Oktober 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: Ramot Sormin)

Suasana sidang lanjutan kasus korupsi minyak mentah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin, 20 Oktober 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: Ramot Sormin)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap terdakwa kasus korupsi minyak mentah, Agus Purwono dan Sani Dinar Saifuddin, dinilai tidak jelas, dan tidak cermat.

Hal itu disampaikan tim penasihat hukum kedua terdakwa dalam nota keberatannya atas dakwaan JPU dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, pada Senin, 20 Oktober 2025.

"Kami mohon majelis hakim berkenan menerima keberatan terdakwa Agus dan Sani untuk seluruhnya. Menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum atau tidak dapat diterima," kata Posko Simbolon, salah satu dari tim penasihat hukum kedua terdakwa.

Beberapa poin dalam dakwaan JPU yang dinilai tidak jelas. Di antaranya pemberian informasi kepada mitra usaha yang menurutnya bukan pelanggaran prinsip dan etika pengadaan.

"Dilakukan untuk memastikan tersedianya kebutuhan minyak Pertamina, mengetahui keadaan market dan mempercepat proses keadaan yang periodenya sangat terbatas," ujar tim penasihat hukum terdakwa.

Begitu juga dengan tuduhan adanya pelanggaran prinsip dan etika pengadaan dengan memberikan harga perkiraan sendiri (HPS) secara langsung mitra usaha saat pengadaan, menurutnya tidak ada pengaturan dan persekongkolan penyesuaian HPS.

Baca Juga: 9 Berkas Tersangka Tata Kelola Minyak Mentah Dilimpahkan ke PN Jakpus

"Semua itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan ketentuan yang berlaku di Pertamina dan Kilang Pertamina Internasional," ucapnya.

Tim penasihat hukum kedua terdakwa juga menyoroti soal pertemuan antara Pertamina atau panitia pelelangan khusus dengan mitra usaha. Menurutnya pertemuan tidak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan melawan hukum.

"Mengingat berdasarkan sistem tata kerja Pertamina tidak ada ketentuan yang melarang pegawai Pertamina untuk bertemu dengan mitra usaha," terangnya.

Ditambahkan, tidak ada kesepakatan melawan hukum sebagaimana dilihat dalam uraian surat dakwaan JPU yang timbul sebagai akibat dari pertemuan makan maupun antara terdakwa dengan mitra usaha.

"Prinsip dan etika pengadaan bukan merupakan unsur delik pidana. Pelanggaran terhadap etika pengadaan walaupun terbukti merupakan pelanggaran ranah administratif," katanya.

Begitu juga dengan penghitungan kerugian negara yang dilakukan sesuai dakwaan, tim penasihat hukum menilai hal tersebut keliru.

"Metode perhitungannya tidak memenuhi kepastian hukum, bertentangan dengan praktek perdagangan internasional, mengabaikan kerangka hukum BUMN," katanya.

Terkait dengan kewenangan sewa kapal, menurut tim penasihat hukum kedua terdakwa sepenuhnya berada pada Pertamina International Shipping Pte.Ltd (PIS), bukan pada para terdakwa.

Juga soal siapa yang berwenang menentukan harga sewa kapal, menunjuk mitra pengangkutan maupun melakukan kontrak dengan pihak ketiga, menurutnya, bukan pada kliennya.

"Sepenuhnya berada pada PT PIS atau pihak pelaksana teknis di bidang perkapalan dan logistik," ujarnya.

Kemudian dakwaan JPU yang mendalilkan perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian perekonomian sebesar Rp171,997 triliun adalah dakwaan yang tidak berdasar, tidak jelas, dan tidak cermat.

"Perhitungan yang dilakukan JPU bersifat prediktif atau perkiraan, bukan kerugian nyata. Angka itu hanya dari analisis ahli bukan hasil audit atas kerugian negara yang benar benar hilang," ujarnya.

Berdasarkan hal itu, dakwaan JPU dinilai tidak cermat, tidak jelas, bahkan menyesatkan.

"Tidak memenuhi pasal 143 KUHAP dan harus dinyatakan batal demi hukum atau setidak tidaknya tidak dapat diterima," pungkas tim penasihat hukum kedua terdakwa.

Diketahui, mantan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping (PIS) Yoki Firnandi didakwa bersama terdakwa Agus Purwono dan Sani Dinar Saifuddin merugikan negara hingga USD 2,4 miliar dan Rp1,07 miliar terkait dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina periode 2018-2023.

Baca Juga: Di Hadapan Prabowo, Kejagung Serahkan Uang Rp13,25 Triliun dari Korupsi Ekspor CPO

Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum (JPU) menguraikan dugaan korupsi dilakukan di antaranya melalui kegiatan ekspor minyak mentah domestik, impor minyak mentah, dan pengadaan sewa kapal.

Untuk ekspor minyak mentah, Yoki bersama dengan Sani Dinar Saifuddin yang saat itu menjabat VP Feedstock & Inventory Management (FIM) PT KPI, dan Dwi Sudarsono selaku VP Crude & Product Trading and Commercial (CPTC) PT Pertamina (Persero) membuat dan menyetujui usulan penjualan ekspor minyak mentah Banyu Urip.

“Dengan cara merekayasa seolah-olah minyak mentah produksi kilang Banyu Urip bagian Negara maupun bagian PT Pertamina EP Cepu (PEPC) tidak dapat diserap atau diolah oleh kilang PT Pertamina (persero), sehingga minyak mentah tersebut di ekspor,” ujar JPU dalam dakwaannya

Kemudian dalam kegiatan impor minyak mentah, Yoki diduga bekerja sama dengan Sani Dinar Saifuddin, Dwi Sudarsono, Agus Purwono, Toto Nugroho, dan Hasto Wibowo menambahkan komponen Pertamina Market Differential (PMD) ke dalam harga perkiraan sendiri (HPS), yang membuat harga pengadaan menjadi lebih tinggi dari semestinya.

Akibat perbuatannya, baik Yoki, Agus dan Sani didakwa dengan Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Tindak Pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Berita Terkait


News Update