"Prinsip dan etika pengadaan bukan merupakan unsur delik pidana. Pelanggaran terhadap etika pengadaan walaupun terbukti merupakan pelanggaran ranah administratif," katanya.
Begitu juga dengan penghitungan kerugian negara yang dilakukan sesuai dakwaan, tim penasihat hukum menilai hal tersebut keliru.
"Metode perhitungannya tidak memenuhi kepastian hukum, bertentangan dengan praktek perdagangan internasional, mengabaikan kerangka hukum BUMN," katanya.
Terkait dengan kewenangan sewa kapal, menurut tim penasihat hukum kedua terdakwa sepenuhnya berada pada Pertamina International Shipping Pte.Ltd (PIS), bukan pada para terdakwa.
Juga soal siapa yang berwenang menentukan harga sewa kapal, menunjuk mitra pengangkutan maupun melakukan kontrak dengan pihak ketiga, menurutnya, bukan pada kliennya.
"Sepenuhnya berada pada PT PIS atau pihak pelaksana teknis di bidang perkapalan dan logistik," ujarnya.
Kemudian dakwaan JPU yang mendalilkan perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian perekonomian sebesar Rp171,997 triliun adalah dakwaan yang tidak berdasar, tidak jelas, dan tidak cermat.
"Perhitungan yang dilakukan JPU bersifat prediktif atau perkiraan, bukan kerugian nyata. Angka itu hanya dari analisis ahli bukan hasil audit atas kerugian negara yang benar benar hilang," ujarnya.
Berdasarkan hal itu, dakwaan JPU dinilai tidak cermat, tidak jelas, bahkan menyesatkan.
"Tidak memenuhi pasal 143 KUHAP dan harus dinyatakan batal demi hukum atau setidak tidaknya tidak dapat diterima," pungkas tim penasihat hukum kedua terdakwa.
Diketahui, mantan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping (PIS) Yoki Firnandi didakwa bersama terdakwa Agus Purwono dan Sani Dinar Saifuddin merugikan negara hingga USD 2,4 miliar dan Rp1,07 miliar terkait dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina periode 2018-2023.
Baca Juga: Di Hadapan Prabowo, Kejagung Serahkan Uang Rp13,25 Triliun dari Korupsi Ekspor CPO