Kopi Pagi: Menguatkan Ketahanan Mental

Senin 13 Okt 2025, 07:12 WIB
Kopi Pagi: Menguatkan Ketahanan Mental. (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi: Menguatkan Ketahanan Mental. (Sumber: Poskota)

Menguatkan ketangguhan mental dengan menggunakan semua energi untuk membangun pikiran yang positif: Tidak risau oleh keadaan sekitar. Tidak tergoda mengikuti jejak orang lain yang suka pamer kemegahan dan kemewahan. Menutup mata,  telinga, pikiran dan hati, jika godaan datang. Yang salah adalah salah, yang benar adalah benar..”

-Harmoko-

Kita sering memandang kesehatan dari aspek fisik (badan) saja, padahal kesehatan mental (rohani), tidak kalah penting. Setidaknya kedua unsur utama tadi (fisik dan mental) - sering disebut "waras" perlu menjadi prioritas.
Itulah sebabnya, kesehatan hendaknya tidak dititik -beratkan pada “penyakit” tetapi pada kualitas hidup yang terdiri dari “kesejahteraan” dan “produktivitas sosial ekonomi”.

Seiring dengan itu hendaknya pula program kesehatan tak sebatas menyehatkan masyarakat yang terbebas dari segala macam penyakit, tetapi bagaimana menyehatkan mental masyarakatnya.

Ini sejalan dengan definisi kesehatan sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 bahwa “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.

Dunia pun telah menekankan bahwa kesejahteraan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Hari Kesehatan Jiwa Sedunia atau World Mental Health Day (WMHD) yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober, sejak tahun 1992, sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran global akan pentingnya kesehatan mental bagi setiap individu.

Tahun 2025 ini mengambil tema: Access to Services – Mental Health in Catastrophes and Emergencies- Akses Layanan, Kesehatan Mental dalam Bencana dan Keadaan Darurat,

Tema ini menyoroti pentingnya menjaga kesehatan mental di tengah bencana, konflik, dan situasi darurat. Sekaligus memastikan orang yang berdampak bencana dan konflik dan keadaan darurat lainnya mendapat layanan kesehatan mental dan dukungan psikososial.

Tentu bencana dimaksud bisa bencana alam maupun sosial, baik banjir, tanah longsor yang rutin menimpa menerpa negeri kita. Soal konflik, bisa akibat perseteruan politik, konflik sosial dan horizontal. Begitu juga korban ketidakadilan penegakan hukum, penanganan aksi unjuk rasa dan segala bentuk aspirasi lainnya.

Kemarahan publik pada akhir Agustus lalu berikut dampaknya – sering disebut “Prahara Agustus” patut menjadi renungan kita bersama. Mengingat peristiwa tersebut tak sedikit menyisakan stres, trauma, rasa kehilangan dan kerusakan sosial yang dapat memicu gangguan mental, utamanya bagi para korban dan  masyarakat terdampak.

Tak berlebihan jika kemudian melahirkan gelombang tuntutan rakyat adanya reformasi dalam kehidupan sosial  politik di negeri kita.

Lahirnya tuntutan reformasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG), menyusul kasus keracunan makanan, perlu disikapi secara bijak. Negara wajib hadir menyelamatkan kesehatan masyarakat, tak hanya secara fisik, juga kesehatan mental masyarakat.

Trauma berkepanjangan, tak hanya memicu gangguan mental, juga dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap program yang sedang dan akan digulirkan.

Ke depan, tak cukup memperbanyak ruang aspirasi, dialog dan interaksi publik dengan lembaga eksekutif maupun legislatif, tak kalah pentingnya membuka

lebih banyak ruang konsultasi publik sebagai bagian menguatkan kesehatan mental masyarakat. Dengan memberi ruang aman untuk berbagi perasaan, mendengar tanpa menghakimi karena adanya kesadaran bahwa kesehatan mental adalah hak setiap orang, kebutuhan dasar manusia, tanpa terkecuali, bahkan di tengah kekacauan.

Patut diingat bahwa kemanusiaan sejati hadir ketika kita tak hanya menolong orang dengan tubuh terluka, tetapi juga jiwa- mental yang sedang berjuang untuk pulih akibat situasi. Bukan saja akibat kekacauan, bencana alam dan konflik sosial, juga kekerasan sosial di media sosial yang belakangan kian mewarnai ruang publik.

Menghadapi beragam tantangan akibat kemajuan teknologi, utamanya informasi dan komunikasi yang berujung kepada kian maraknya godaan, kalau tidak disebut "jebakan sosial", maka ketangguhan mental sangat diperlukan.

Seseorang dapat dikatakan tangguh metal, jika memiliki sejumlah ciri –ciri sebagaimana disebutkan para ahli, di antaranya: Mempunyai harga diri yang wajar, menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan. Menghargai pendapat dan ide orang lain. Tidak “mengakali” orang lain dan juga tidak membiarkan orang lain “mengakali” dirinya.

Dalam artian yang lebih luas lagi, sehat dan tangguh metal adalah tahu yang benar adalah benar dan berupaya menegakkannya. Yang salah adalah salah dan berusaha untuk menjauhinya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Menghindari kebiasaan buruk menjadi salah satu kunci menguatkan ketahanan mental. Gunakan semua energi untuk membangun pikiran yang positif: Tidak risau oleh keadaan sekitar. Tidak tergoda mengikuti jejak orang lain yang suka pamer kemegahan dan kemewahan. Menutup mata,  telinga, pikiran dan hati, jika godaan datang.
Mari sehatkan jiwa kita dengan membangun mental yang tangguh.

Mental yang kuat menghadapi godaan, handal menerima ujian serta sukar dikalahkan oleh serbuan penyakit jiwa yang berwujud: depresi, trauma hati , emosi, dan rendah diri. (Azisoko).


Berita Terkait


undefined
Kopi Pagi

Kopi Pagi: Jangan Tunggu Hari Esok

Senin 29 Sep 2025, 06:00 WIB

News Update