Sajam di Balik Seragam, Pengamat Sosial: Tawuran Pelajar bukan Sekadar Kenakalan Remaja

Minggu 28 Sep 2025, 19:15 WIB
Ilustrasi tawuran pelajar. (Sumber: Poskota/Arif)

Ilustrasi tawuran pelajar. (Sumber: Poskota/Arif)

KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, menilai fenomena tawuran pelajar yang semakin marak belakangan tak bisa lagi dianggap sebagai bentuk kenakalan remaja biasa.

Ia menegaskan, aksi kekerasan pelajar dengan senjata tajam merupakan cerminan dari krisis identitas, lemahnya kontrol diri, dan tekanan lingkungan sosial yang kuat.

Menurut Devie, banyak remaja menjadikan tawuran sebagai ajang unjuk diri, sebuah 'panggung identitas' untuk menunjukkan keberanian dan meraih pengakuan dari teman sebaya. Tidak jarang, tawuran juga digunakan sebagai pelampiasan emosi akibat tekanan akademik maupun masalah keluarga.

“Sorak-sorai teman justru menjadi bensin yang membakar konflik. Anak yang mundur dari tawuran sering dicap pengecut. Akhirnya, gengsi mengalahkan logika,” ujar Devie, saat dihubungi Poskota, Minggu, 28 September 2025.

Baca Juga: Bupati Bekasi Kecam Tawuran yang Tewaskan Anggota Karang Taruna

Devie menjelaskan, akibat dari tawuran bukan hanya luka fisik, tetapi juga luka psikis dan sosial yang mendalam. Beberapa dampak yang ditimbulkan antara lain, nyawa anak muda melayang sia-sia, akibat penggunaan senjata tajam seperti celurit dan parang bisa berujung fatal. Kemudian juga anak mengalami kecemasan, rasa bersalah, dan bahkan menarik diri dari lingkungan keluarga.

"Masa depan hancur, catatan kriminal di usia muda dapat menutup banyak pintu kesempatan di masa depan," ucap Devie.

Lebih lanjut, Devie menekankan pentingnya peran orang tua dan sekolah dalam mencegah tawuran. Di antaranya mengajarkan anak strategi menghindari konflik, seperti menahan emosi, mencari bantuan orang dewasa, dan berbicara terbuka.

Menciptakan suasana rumah yang menghargai anak dan mendukung tujuan hidupnya, seperti fokus pada ujian, lomba, atau hobi. Ia juga menyarankan agar orang tua tidak memberikan pesan ganda kepada anak.

“Jangan bilang 'jangan tawuran' tapi di sisi lain mengajarkan 'kalau dihina, lawan'. Tegaskan bahwa kekerasan bukan solusi,” kata Devie.

Sementara itu, Devie juga meminta sekolah untuk tidak hanya mengandalkan hukuman seperti skorsing, yang sering dianggap sebagai 'libur gratis' oleh pelajar.

Baca Juga: Tragis! Anggota Karang Taruna Tewas Dibacok saat Lerai Tawuran di Cikarang Timur

Sebagai gantinya, sekolah disarankan untuk menyediakan program mediasi, konseling, dan tugas restoratif. Lalu, membuka ruang ekspresi positif seperti kegiatan olahraga, seni, musik, hingga teknologi.

"Mengajarkan keterampilan pengendalian emosi dan penyelesaian konflik," jelas Devie.

Selanjutnya, Devie mengingatkan bahwa tawuran pelajar bukan hanya masalah anak, tapi juga alarm bagi semuanya. Termasuk mengenai rumah yang gagal menjadi tempat pulang, dan sekolah yang belum mampu jadi tempat tumbuh.

"Kalau kita abai, kita bukan hanya kehilangan anak-anak hari ini, tapi juga generasi masa depan," ucap Devie.


Berita Terkait


News Update