KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Kasus bunuh diri yang menimpa seorang anak perempuan berusia 13 tahun di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, menggegerkan masyarakat.
Haniva Hasna, kriminolog yang fokus pada isu perempuan dan anak, mengatakan, bahwa peristiwa seperti ini, tidak bisa dipandang sebagai kejadian tunggal atau tanpa sebab.
“Kasus bunuh diri pada anak usia 13 tahun ini bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang saling terkait, baik dari sisi psikologis maupun sosial, yang membentuk lingkaran tekanan hingga seorang anak merasa tidak punya jalan keluar," ujar Haniva, saat dihubungi, Selasa, 16 September 2025.
Haniva menjelaskan, bahwa masa remaja awal, terutama usia 12 hingga 15 tahun, adalah periode yang sangat rawan secara psikologis.
Baca Juga: Siswi MTs di Cipayung Gantung Diri Diduga karena Korban Bullying, Pihak Sekolah Buka Suara
Perubahan hormon, emosi yang labil, serta tekanan dari lingkungan bisa sangat mempengaruhi kondisi mental anak. Ketika tidak ada tempat yang aman untuk mencurahkan isi hati, beban yang dirasakan bisa menumpuk hingga menimbulkan rasa putus asa.
“Remaja di usia ini sangat mudah terbawa suasana. Jika mereka merasa tidak dimengerti atau tidak punya siapa pun untuk mendengarkan, maka tekanan sekecil apa pun bisa jadi sangat besar bagi mereka,” jelas Haniva.
Haniva menilai, lingkungan sekolah juga sebagai salah satu faktor penting. Perundungan, baik secara langsung maupun melalui media sosial, bisa meninggalkan luka psikis yang mendalam.
Ketika sekolah tidak responsif atau tidak memiliki sistem pendukung seperti konselor atau guru pembimbing, maka korban bisa merasa semakin terisolasi.
“Kalau bullying terjadi dan tidak ditangani dengan cepat dan serius, anak akan merasa dibiarkan sendiri menghadapi semuanya. Ini sangat berbahaya. Apakah sekolah memiliki budaya empati? Apakah ada tempat yang aman bagi anak untuk bicara tanpa takut dihakimi?” ucap Haniva.
Dalam lingkup keluarga, Haniva menyoroti pentingnya komunikasi yang terbuka dan penuh empati. Banyak anak, menurutnya, tidak tahu bagaimana menyampaikan keluhan atau rasa sakitnya karena keluarga tidak menyediakan ruang yang cukup aman secara emosional.
“Kedekatan fisik saja tidak cukup. Orang tua perlu punya keterampilan komunikasi emosional. Anak harus merasa bahwa rumah adalah tempat paling aman untuk curhat, bukan tempat yang penuh tekanan atau tuntutan,” ujar Haniva.
Selain itu, kata Haniva, tekanan sosial melalui media sosial juga menjadi faktor yang memperparah situasi. Di usia yang masih sangat rentan, anak-anak sering membandingkan diri dengan teman sebaya, merasa tidak cukup baik, atau takut dicap lemah.
Semua ini bisa mempercepat penurunan kondisi mental, dan yang paling memprihatinkan adalah minimnya akses terhadap layanan kesehatan mental.
“Bunuh diri tidak pernah terjadi begitu saja. Ada tanda-tanda awal yang sering kali diabaikan, perubahan perilaku, penurunan minat, menarik diri dari lingkungan. Sayangnya, masih banyak sekolah dan keluarga yang belum bisa membaca tanda-tanda itu,” jelas Haniva.
Baca Juga: Remaja Putri di Cipayung yang Gantung Diri Diduga Korban Bullying, Polisi Belum Temukan Bukti
Haniva menekankan bahwa kasus ini seharusnya menjadi panggilan serius bagi semua pihak, terutama orang tua, sekolah, dan pembuat kebijakan, untuk mengambil langkah konkret.
Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak buru-buru menyalahkan siapa pun, tetapi mendorong adanya penggalian informasi lebih lanjut untuk mencegah kejadian serupa terulang.
“Kita perlu tahu, apakah korban sempat curhat ke siapa pun? Bagaimana hubungan sosialnya di sekolah? Seberapa sering ia mengalami bullying? Apa respon sekolah dan keluarga? Semua itu harus diungkap dengan jujur agar kita bisa belajar dan memperbaiki sistem,” jelas Haniva.
Selanjutnya, Haniva mengingatkan bahwa usia muda bukan jaminan seseorang bebas dari keputusasaan. Oleh karena itu, membangun ekosistem yang sehat secara emosional menjadi tanggung jawab bersama.
“Anak-anak butuh didengar, dipahami, dan didampingi. Kalau lingkungan sekitar mereka bisa lebih peka, banyak tragedi sebenarnya bisa dicegah,” tutup Haniva.