“Kedekatan fisik saja tidak cukup. Orang tua perlu punya keterampilan komunikasi emosional. Anak harus merasa bahwa rumah adalah tempat paling aman untuk curhat, bukan tempat yang penuh tekanan atau tuntutan,” ujar Haniva.
Selain itu, kata Haniva, tekanan sosial melalui media sosial juga menjadi faktor yang memperparah situasi. Di usia yang masih sangat rentan, anak-anak sering membandingkan diri dengan teman sebaya, merasa tidak cukup baik, atau takut dicap lemah.
Semua ini bisa mempercepat penurunan kondisi mental, dan yang paling memprihatinkan adalah minimnya akses terhadap layanan kesehatan mental.
“Bunuh diri tidak pernah terjadi begitu saja. Ada tanda-tanda awal yang sering kali diabaikan, perubahan perilaku, penurunan minat, menarik diri dari lingkungan. Sayangnya, masih banyak sekolah dan keluarga yang belum bisa membaca tanda-tanda itu,” jelas Haniva.
Baca Juga: Remaja Putri di Cipayung yang Gantung Diri Diduga Korban Bullying, Polisi Belum Temukan Bukti
Haniva menekankan bahwa kasus ini seharusnya menjadi panggilan serius bagi semua pihak, terutama orang tua, sekolah, dan pembuat kebijakan, untuk mengambil langkah konkret.
Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak buru-buru menyalahkan siapa pun, tetapi mendorong adanya penggalian informasi lebih lanjut untuk mencegah kejadian serupa terulang.
“Kita perlu tahu, apakah korban sempat curhat ke siapa pun? Bagaimana hubungan sosialnya di sekolah? Seberapa sering ia mengalami bullying? Apa respon sekolah dan keluarga? Semua itu harus diungkap dengan jujur agar kita bisa belajar dan memperbaiki sistem,” jelas Haniva.
Selanjutnya, Haniva mengingatkan bahwa usia muda bukan jaminan seseorang bebas dari keputusasaan. Oleh karena itu, membangun ekosistem yang sehat secara emosional menjadi tanggung jawab bersama.
“Anak-anak butuh didengar, dipahami, dan didampingi. Kalau lingkungan sekitar mereka bisa lebih peka, banyak tragedi sebenarnya bisa dicegah,” tutup Haniva.